PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 17 UU HPP
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. ***)
(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. ***)
Penjelasan ayat (1)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
PMK 244 tahun 2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak:
Pajak yang lebih dibayar tercantum dalam SKPLB;
Kelebihan pembayaran diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak baik diadministrasikan di KPP domisili dan di KPP lokasi;
Perhitungan kelebihan pemabayaran pajak ditindaklanjuti dengan kompensasi ke utang pajak yang terutang/ akan terutang;
Bila tidak ada utang pajak, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada wajib pajak yang bersangkutan melalui potongan SPMKP;
Potongan SPMKP telah sah bila mendapatkan NTPN sesuai ketentuan yang berlaku.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2021
Permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
2. Secara umum, hal-hal yang perlu diperhatikan dari PMK-39/PMK.03/2018 s.t.d.t.d. PMK-209/PMK.03/2021 dalam rangka melakukan penelitian penyelesaian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah sebagai berikut.
a. Pasal 6 ayat (3), berdasarkan permohonan Pengembalian Pendahuluan oleh Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu dilakukan penelitian kewajiban formal Pengembalian Pendahuluan, yaitu:
1) penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu masih berlaku;
2) Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Tahunan;
3) Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak dalam 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
4) Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak dalam 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender;
5) laporan keuangan Wajib Pajak pada suatu Tahun Pajak setelah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah dan memperoleh pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
6) Wajib Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atau tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
b. Pasal 6 ayat (5), dalam hal Wajib Pajak Kriteria Tertentu memenuhi ketentuan kewajiban formal Pengembalian Pendahuluan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti dengan melakukan penelitian terhadap:
1) kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
2) bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon;
3) Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pemohon.
c. Pasal 9 ayat (2), Wajib Pajak Persyaratan Tertentu meliputi:
1) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
3) Wajib Pajak Badan yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); atau
4) Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
d. Pasal 10 ayat (2), berdasarkan permohonan Pengembalian Pendahuluan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
1) kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
2) bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon; dan
3) Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pemohon.
e. Pasal 13 ayat (2), untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (2), selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada Pasal 13 ayat (2) huruf f;
2) Pengusaha Kena Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
3) Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/ atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
4) Pengusaha Kena Pajak tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
f. Pasal 14 ayat (2), permohonan Pengembalian Pendahuluan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah harus dilampiri dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:
1) untuk Pengusaha Kena Pajak Mitra Utama Kepabeanan, dilampiri surat penetapan sebagai Mitra Utama Kepabeanan;
2) untuk Pengusaha Kena Pajak Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator), dilampiri surat penetapan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator);
3) untuk pabrikan atau produsen, dilampiri surat pemyataan mengenai keberadaan tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
4) untuk Pedagang Besar Farmasi, dilampiri Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi, dan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik;
5) untuk Distributor Alat Kesehatan, dilampiri Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan, dan Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik;
6) untuk perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, dilampiri Laporan Keuangan Konsolidasi Badan Usaha Milik Negara induk yang telah diaudit oleh auditor independen untuk tahun pajak terakhir sebelum permohonan diajukan.
g. Pasal 14 ayat (8), terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi ketentuan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f diperlakukan sebagai PKP Berisiko Rendah, sepanjang memenuhi persyaratan dalam Pasal 13 ayat (4) huruf c dan huruf d, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pengusaha Kena Pajak dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1);
2) Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
h. Pasal 16 ayat (3), berdasarkan permohonan Pengembalian Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu melakukan penelitian kewajiban formal Pengembalian Pendahuluan, yaitu meliputi:
1) penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah masih berlaku, kecuali
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f,
2) Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
3) Pengusaha Kena Pajak tidak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
i. Pasal 16 ayat (5), dalam hal Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak
menindaklanjuti dengan melakukan penelitian terhadap:
1) pemenuhan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
2) kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
3) Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah telah dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak; dan
4) Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah telah divalidasi dengan NTPN.
j. Pasal 16 ayat (6), penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dilakukan untuk memastikan Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) pada Masa Pajak yang diajukan permohonan Pengembalian Pendahuluan.