TAX HISTORY

PAJAK MASA KEKAISARAN ROMAWI DAN YUNANI  

Pada awal Republik Roma (509-27 sebelum Masehi) beberapa jenis pungutan seperti censor, questor dan beberapa jenis pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut publican. Tributum sebagai pajak langsung (pajak atas kepala= head tax) dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad ke 2 penguasa Roma mengandalkan pada pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia, seperti portoria, yakni pungutan atas penggunaan pelabuhan. Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan. Di daerah lain di Italia dikenal decumae, yakni pungutan sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di Italia, termasuk penduduk Roma sendiri dikenakan tributum yang tetap yang sering kali disebut juga stipendium.

Sumber: https://sites.google.com/d/1olzK_G7JzbcdDii24U_7rWVgxCehhMht/p/1fB_96fX8lx7lXaLVgwssGcCEWULJ2dOR/edit


PAJAK MASA YUNANI ROMAWI

The Genius System of Taxation in Ancient Athens

While there are many inventions that the ancient Greeks gave to the modern world, one thing we certainly didn’t borrow from them was their taxation system. To be more specific, we are referring to the ancient Athenian tax system (as it’s not possible to know the taxation of every Greek city-state), which was based on a system of leitourgia, or liturgy, which meant “public service.” It might be hard to imagine this today, but in ancient Athens the richest of the rich literally competed to pay the most taxes, and the poor were treated to festivals and shows from that tax money. You are probably wondering why and how. Well, it’s not as complicated as you might think.

The wealthiest Athenian citizens and foreign residents (metoikoi) were challenged to fund public programs through the system of leitourgia. The state selected some to be gumnasiarkhai, who funded and maintained the public gymnasia. The khoregoi (sponsors) were the ones who funded the training of theatrical choruses, and the trierarkhoi funded triremes (warships) and their crews. Occasionally, a special tax called the eisforá was exacted, even though it’s recorded that by the fourth century BC the wealthiest citizens of Athens paid it annually. There were some exceptions, however, like the Peloponnesian War, during which all Athenians had to contribute as much as they could to the eisforá for the soldiers’ wages. 

The beauty of the liturgy system was that public works tended to be funded and managed by people with relevant expertise rather than by some less accountable state official. These tasks came with great prestige, and even though it is unknown how they were exactly assigned, what we know is that the rich saw the whole thing as an unofficial Olympic “competition” where they competed against each other concerning who will donate the most, in order to gain higher status.

As a matter of fact, no more than a few hundred rich Athenians (some sources note three hundred) voluntarily paid the vast majority of the taxes, even though they did not pay them directly to the state. Instead, they made sure that the services required by society were fulfilled and that they were worshiped as great donors and sponsors, having paid their taxes directly to the programs that created and maintained these services. In other words, a rich Athenian had to prove his wealth with actions and for this he was revered by his fellow citizens. So, avoiding paying taxes—like the majority of rich Greeks do today—would not only have been shameful, but also an act that would have downgraded their public image and position in Athenian society.


The Lesson Ancient Athenian Taxation Could Give Us Today

The theory behind ancient Athenian taxation was much deeper, of course. The wise elder Athenians who came up with the idea weren’t concerned about the wealthy citizens getting bragging rights by paying the city’s taxes, but instead they wanted to ensure that the rich wouldn’t attempt to find “tax shelters” to avoid paying taxes as happens today. Another factor was that the ancient Greeks viewed wealth as a matter of luck. In the absence of any organized industry and a capitalist economy that produces numerous millionaires, wealth tended to be inherited in ancient Athens.

In this way, aristocrats were constantly under pressure to show they were worth their inheritance through what they did for their city, while at the same time they had to show their appreciation to the gods for being born rich and pay for those who were born poor. Additionally, their reputation was on the line in the quality of the services they provided.

So the question is: How can the leitourgia system help modern countries, especially Greece, which has found itself in a precarious financial position for the past seven years? And how can the Greek government collect more taxes when a whopping 89.5 percent of the country’s tax receipts remain uncollected as a graphic published by the Washington Post depicts?  Personally, I can’t answer that since I am not an economist or a politician. However, I speculate that the problem is moral rather than economic or political. I will actually dare to say that the leitourgia wouldn’t have been very successful in ancient Athens if those wealthy Greeks were raised under and brainwashed by a modern capitalist system that encourages them to worship money rather than dignity, merit, and even posthumous fame, an ideal that as we all know the ancient Greeks valued more than anything.


Source: Theodoros Karasavvas, J.D.-M.A.  https://www.ancient-origins.net/history/can-you-imagine-taxation-system-where-wealthy-competed-pay-highest-taxes-it-really-happened-021541



Pajak Tanah di Masa Nabi dan di Masa Umar bin Khathab


Di era kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, sumber pendapatan negara sangat erat hubungannya dengan stratifikasi masyarakat, sebagai: 

(1) Muslim, 

(2) dzimmi, 

(3) musta’man, 

(4) mu’ahad dan 

(5) harby. 


Stratifikasi ini terbentuk sebagai konsekuensi logis dari upaya perluasan wilayah koloni Islam dan masuk dalam bagian yang dikuasai oleh kekhalifahan kala itu. Hikmah dari perluasan dan pendudukan wilayah ini adalah berjalannya sistem manajemen keuangan dan publik.  Luasnya wilayah di bawah kekuasaan kekhalifahan secara umum juga dibagi menjadi dua, yaitu: 

(1) wilayah yang masuk dalam wilayah Arab dan 

(2) wilayah non-Arab yang menjadi koloni. 


Untuk wilayah Arab, baik berlaku untuk wilayah yang awalnya ditundukan dengan jalan peperangan pada masa Rasulullah maupun yang didapatkan lewat jalan damai, maka semua tanah ini seluruhnya menjadi tanah usyur. Besaran ‘usyur untuk wilayah ini sudah ditetapkan sendiri oleh Rasulullah SAW yaitu sebesar 10 persen untuk lahan tadah hujan dan 5 persen untuk lahan yang menggunakan irigasi artifisial (daulaby). Rasullah melarang pungutan lain diterapkan pada penduduk wilayah ini, termasuk menjadikan tanahnya sebagai tanah al-kharaj (Muhammad Nejatullah Siddiqi, Al-fiqri al-Iqtisad li Abi Yusuf, Journal of Research Islamic Economics, Vol 2, 1984-85, 710. 


Karena tanah yang berada di wilayah Arab ini sudah mendapatkan ketetapan langsung dari Rasulullah SAW, maka baik pada masa pemerintahan Daulah Umayyah maupun Daulah Abbasiyah, keduanya tidak diotak-atik lagi ketetapannya. Walhasil, antara kharaj dan usyur adalah tidak ada perbedaan, hanya faktor status pemilik dan kelas tanah saja yang membedakan. Wilayah Arab yang memiliki aturan dan perlakuan istimewa dari kedua dinasti ini antara lain Madinah, Bahran, Badiyah, Yaman, Makkah dan Hijaz yang mana mayoritas penduduknya telah memeluk Islam di masa Rasulullah SAW.  


Setelah Islam menguasai wilayah non-Arab, maka berlaku ijtihad baru. Ijtihad pertama kali diawali pada periode kekhalifahan Umar ibn Khathab radliyallahu ‘anh. Kebijakan ini terekam dengan baik dalam sebuah riwayat:

 عن حبيب بن ٲ بي ثا بت قال: ان أ صحا ب رسول الله صلي الله عليه و سلم و جما عة من المسلمين ٲ رادوا عمر بن الخظا ب رضي الله عنه أن يقسم الشا م كما قسم رسو ل اهلو صلي الله عليه و سلم خيبر, و ٲنه كان أشد الناس في ذالك الزبير بن عوام و بلال ابن رباح. فقال عمر بن الخظاب رضي الله عنه: اذن ٲترك من بعدكم من المسلمين لاشئ لهم. اللهم اكفني بلال و أصحابه 

Artinya: “Habib ibn Abî Tsâbit berkata: Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW dan sekumpulan kaum Muslim menghendaki agar Umar bin Khathab radliyallahu ‘anh membagi tanah Syam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tanah Khaibar. Dan sesungguhnya pihak yang paling menentang keras kebijakan Umar adalah al-Zubair ibn Awâm dan Bilâl ibn Rabâh. Maka dari itu, Umar ibn Khathâb berkata: ‘Jika aku melakukan hal itu, maka aku akan meninggalkan kaum Muslim setelah kalian sebagai pihak yang tidak memiliki apa-apa. Ya Allah, jagalah aku dari Bilâl dan kawan-kawannya’.” [Muhammad Akram Khan, Glosarry of Islamic Economics, London dan New York: Mansell, 1990. 26]. Riwayat di atas juga terekam dengan baik dalam sebuah kitab karya Ibn ‘Asâkir Abû al-Qâsim ‘Alî ibn Al-Hasan al-Syâfi’i, Târikh Madînah Damasqy, Juz 2 (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1995 halaman 197-198). Di dalam kitab terakhir ini, termasuk sahabat lain yang juga turut menentang kebijakan Umar ini adalah sahabat Mu’adz ibn Jabal. 


Inti utama riwayat tersebut adalah bercerita tentang kharaj pasca-ditundukkannya Syam sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Islam.  Pada masa Rasulullah SAW, tanah Khaibar memang tidak dibagikan semua kepada umat Islam. Saat itu, Rasulullah mengambil kebijakan bahwa orang Yahudi Khaibar boleh kembali ke tanah milik mereka sendiri dengan syarat mau membayar separuh dari hasil panennya kepada pemerintah Islam di Madinah (Lihat: Ibn Rajab, al-Istikhrâj li Ahkâm al-Kharâj, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985: 33-34).  


Pada masa kekhalifahan Umar, ada wilayah yang ditundukkan oleh pemerintahan Islam melalui jalur perang, dan ada pula wilayah yang ditundukkan dengan jalur damai. Tanah yang berasal dari jalan peperangan disebut sebagai tanah unwah. Sementara itu, tanah yang berasal dari jalur damai, disebut dengan tanah sawad. Sebenarnya istilah sawad ini mengacu pada sebuah wilayah yang berada di sebelah selatan Irak. Sawad sendiri berarti tanah hitam, yang merupakan salah satu ciri tanah aluvial yang subur. Suburnya tanah ini disebabkan ia terletak di sebuah pegunungan sehingga merupakan keadaan yang kontras dengan gurun. Wilayah ini menjadi bagian wilayah kekuasaan pemerintah Islam yang didapat dengan jalur damai.  



Di masa kekhalifahan Umar, terbit kebijakan dengan jalan tidak membagi tanah “sawad” (rampasan) kepada pasukan kaum Muslimin. Tanah tersebut sepenuhnya diserahkan kembali kepada pemilik asalnya. Namun, kepada mereka dibebankan kewajiban membayar usyur. Sementara itu, khalifah Umar hanya membagi tanah kepada kaum Muslimin untuk wilayah yang diperoleh dari jalur perang (unwah) serta memberlakukan kharaj pada tanah tersebut yang dipungut setiap tahunnya dengan besaran yang ditetapkan oleh pemerintah. 


Perbedaan kebijakan yang diberlakukan antara tanah ‘unwah dan tanah sawad inilah yang mengundang kontroversi kala itu dan mengundang perdebatan di kalangan sahabat bahkan menimbulkan pertentangan selama beberapa waktu lamanya. (Lihat: Ibn ‘Asâkir Abû al-Qâsim ‘Alî ibn Al-Hasan al-Syâfi’i, Târikh Madînah Damasqy, Juz 2, Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1995 halaman 197-198). 


Di Iraq, kebijakan Umar ini terus berlangsung dan dijaga sampai dengan masa Daulah Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah al-Manshûr yang menerapkan sistem muqâsamah (bagi hasil) terhadap tanah yang diberlakukan sistem al-kharaj. Kebijakan ini diambil karena ada sebab yaitu telah terjadi penurunan tingkat harga dan rusaknya kualitas tanah sehingga hasil bumi tidak lagi mencukupi guna membayar kharaj-nya. Sistem muqâsamah ini dalam sistem perpajakan modern dikenal dengan istilah sistem pajak tetap (fixed taxation). Khalifah al-Mahdi selaku pengganti al-Manshûr memiliki kebijakan meneruskan pendahulunya dengan menetapkan kharaj sebesar 1/3 hasil untuk tanah yang diairi irigasi dan ¼ bagi tanah yang diairi dengan irigasi artifisial.  


Jadi, secara umum pada masa Umar ini telah berlaku tiga klasifikasi tanah dan sistem perpajakannya, yaitu:  

1. Wilayah yang sudah masuk Islam sejak masa Rasulullah SAW. Kepada tanah ini berlaku al-‘usyur.

2. Wilayah yang ditaklukkan melalui jalan perang. Tanah yang berada di wilayah ini disebut tanah unwah. Kepadanya diberlakukan al-kharaj dan al-usyur. 

3. Wilayah yang masuk dalam kekuasaan kekhalifahan dengan jalan damai. Tanah yang berada di wilayah ini disebut sawad. Kepadanya hanya berlaku al-usyur. Sebagian pihak tidak menyebutnya sebagai al-usyur, tetapi sebagai kharaj shulhi, yaitu kharaj yang diperoleh dengan jalan damai. 

Wallâhu a’lam bish shawab 


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM


Sumber: https://www.nu.or.id/syariah/pajak-tanah-di-masa-nabi-dan-di-masa-umar-bin-khathab-wesqj



SEJARAH PAJAK DI INDONESIA 

MATARAM KUNO

Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, raja adalah jelmaan dewa dan diakui sebagai penguasa tunggal sehingga berhak memungut pajak dari penduduk untuk penyelenggaraan pemerintahan. Pajak dibayarkan tidak dalam bentuk uang, melainkan barang. Uang belum dikenal sebagai alat pembayaran dan transaksi ekonomi di masa Kerajaan Mataram Kuno. Konsep pajak zaman ini adalah Drawya Haji, dari kata Drawya yang berarti milik, dan Haji yang berarti raja, dan dimaknai sebagai kekayaan milik raja, termasuk pajak yang dipungut atas tanah. Raja adalah pemegang hak atas tanah dan rakyat hanya mengolah, bukan memiliki, karena itu pajak dikenakan atas mereka sebagai pungutan rutin. Jenis pajak pada masa Mataram Kuno diterapkan berdasarkan objek pajak, yang meliputi pajak tanah, pajak usaha, pajak orang asing, dan pajak-pajak lainnya. Sementara pejabat pemungut pajak disebut Manak Katrini dan Sang Manilala Drawya Haji. Pada masa ini juga dikenal penetapan daerah perdikan yang disebut sima, yakni daerah yang, atas anugerah raja, dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Rakyat juga boleh mengajukan wilayah yang tidak mampu bayar pajak untuk dijadikan sima. Di dalam sebuah sima, rakyat boleh melakukan kegiatan bisnis. Namun, raja dapat membatasi jumlah usaha pada suatu sima. Jika melebihi batas ketetapan, usaha tersebut akan dikenai pajak. 

KAHURIPAN (1009M)

Airlangga sebagai raja Kahuripan menerapkan pemungutan pajak seperti Mataram Kuno. Airlangga juga menjalin banyak hubungan baik dengan kerajaan lokal dan mancanegara, karena itu ia banyak memungut pajak orang asing dan pekerja asing yang dikenakan pajak penghasilan. Raja Airlangga juga mengeluarkan peraturan baru perpajakan, yaitu pajak perdagangan yang menyangkut jumlah komoditas terkena pajak. Para pekerja profesional tertentu, orang-orang asing, dan para pengrajin pun dikenai pajak. Tak salah rasanya jika Raja Airlangga disebut sebagai pembaharu dalam bidang pemerintahan dan perpajakan abad ke-10 karena banyaknya langkah dan terobosan yang ia lakukan. 


MAJAPAHIT (1293)

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit sudah menerapkan sistem perpajakan yang canggih untuk masa itu. Kitab Praniti Raja Kapakapa menjelaskan betapa rinci dan tertatanya struktur birokrasi Kerajaan Majapahit, salah satunya di bidang perpajakan. Kitab Negarakertagama dan beberapa prasasti lain pun memberikan penjelasan serupa. Tak hanya digunakan untuk memperluas dan menambah jumlah waduk demi meningkatkan kesejahteraan rakyat, hasil pungutan pajak juga digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur lain yang akan mendongkrak kejayaan Majapahit sebagai sebuah negara besar pada masa itu. 


MATARAM ISLAM

Perjanjian Giyanti dengan VOC memecah Mataram Islam menjadi empat, yakni Kasunanan Surakarta (1745), Kasultanan Yogyakarta (1755), Mangkunegaran (1757) dan Paku Alaman (1813). Meski pecah, para penguasa di keempat kerajaan dan kesultanan tadi masih meneruskan berbagai jenis pajak peninggalan dinasti Mataram Islam di wilayah kekuasaan masing-masing. Dari keempat pecahan kerajaan tersebut, Mangkunegaran dianggap yang paling berhasil menata perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya. Ciri khas sumber ekonomi adalah tanah apanage, yang ditarik untuk mendukung pembukaan usaha perkebunan, dengan uang menggantikan gaji atas tanah lungguh. Mangkunegaran juga mendirikan Dinas Perpajakan yang mengelola seluruh jenis pajak yang ditarik dari rakyat dan diatur dalam regulasi pajak di lembaran kerajaan. Mangkunegara VI (1898-1916) juga merestrukturisasi perekonomian dengan memisahkan keuangan negara dengan keuangan pribadi keluarga raja, melakukan penghematan dan efisiensi, mengelola sumber keuangan negara dengan cara modern, serta pemanfaatan secara efektif dan efisien demi kemakmuran. Pada 27 Maret 1914, petinggi Mangkunegaran mengeluarkan aturan atau pranata tentang pengelolaan pajak. Pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa tertinggi dan pengawas berbagai kerajaan di Hindia Belanda mengizinkan Mangkunegaran memungut pajak dari orang pribumi yang berdiam di kawasan Mangkunegaran. 


PENJAJAHAN BELANDA

Pada 1873 diberlakukan bea masuk berdasarkan Indische Tarif Wet, Stbld 1873 No. 35, disusul Rechten Ordonantie, Stbld 1882 No. 240. Bagi orang-orang tertentu (Eropa dan Timur Asing) dikenakan poll tax atas status kepemilikan rumah dan tanah pribadi. Pada 1886, Belanda secara bertahap menerapkan pengenaan cukai, masingmasing Cukai Minyak Tanah lewat Stbld 1886 No. 249, Cukai Alkohol Sulingan (Stbld 1898 No. 90-92), Cukai Minuman Beralkohol (Stbld 1931 No. 488), Cukai Tembakau (Stbld 1932 No. 517), dan Cukai Gula dengan Stbld 1933 No. 351. Pajak Rumah Tangga mulai diberlakukan pada 1908 berdasarkan Personele Belasting Ordonantie, Stbld 1908, bersamaan dengan Pajak Pendapatan (Ordonantie op Inkomsten Belasting). Pajak Pendapatan dikenakan pada orang-orang Eropa dan badan-badan yang melakukan kegiatan usaha/bisnis. Mereka dikelompokkan menjadi orang atau bangsa Eropa (European), Timur Asing (Foreign Asian: Cina, Arab dan India), serta pribumi (Indigenous). Dari sisi administrasi, besar pajak ditetapkan oleh pemerintah dengan sistem official assessment, berdasarkan objek pajak yang dimiliki, status kepemilikan pribadi seseorang, dan besarnya dana yang dibutuhkan pemerintah. Tahun 1920 diberlakukan Odonansi Pajak Pendapatan dengan Ordonantie Op de Herziene Incomstenblasting, Stbld 1920 No. 312 untuk memperbarui Pajak Pendapatan Tahun 1908, sebagai General/Income Tax yang berlaku umum tanpa membedakan ras atau bangsa. Pajak ini menerapkan asas-asas penghasilan dan keadilan berdasarkan asas domisili dan sumber objek pajak. Pada tahun-tahun berikutnya ada sejumlah jenis pajak yang kemudian diadopsi Pemerintah Indonesia. Misalnya, pada 1921, Belanda memberlakukan Bea Meterai berdasarkan Zegenverordening, Stbld 1921 No. 498. sejak 1923, atas penguasaan, pemanfaatan, atau kepemilikan tanah di Pulau Jawa dan Madura dikenakan pungutan verponding asing dengan Inlandsche Verponding, Stbld. 1923 No. 425. Sementara untuk seluruh Indonesia dengan Ordonantie Stbld. 1928 No. 342. Sebelumnya penguasaan, pemanfaatan, atau kepemilikan tanah dikenakan sewa tanah (land rent). Bea Balik Nama Atas Kepemilikan Hak (tanah, bangunan, kendaraan, dan sebagainya) diberlakukan pada 1924 berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama, Stbld. 1924 No. 291. Pajak Perseroan (Corporate Tax) berdasarkan Ordonantie Op de Vennootsschapbelasting 1925 No. 319, yang berlaku sebagai Pajak Perseroan sampai tahun 1983. Pajak Pendapatan Perseorangan diberlakukan tahun 1932 dengan Ordonantie Op de Incomsten Belasting, Stbld. 1932 No. 111, atau Personal Income Tax Ordonance 1932. Bersamaan dengan diberlakukannya Pajak Pendapatan Perseorangan, diberlakukan pula Pajak Kekayaan berdasarkan Ordonansi Pajak Kekayaan, Stbld. 1932 No. 405. Kekayaan tak lagi menjadi objek pajak setelah berlakunya Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan No. 12 Tahun 1985, yang sekaligus menghapus Ordonansi Pajak Kekayaan. 

NKRI

Setelah Kemerdekaan, pemerintah Belanda masih memerintah hingga tercapai kedaulatan RI ketika diberlakukan Pajak Peralihan atau Overgangblasting 1946. Pajak Pendapatan dipungut berdasarkan Ordonansi tahun 1944 ini selanjutnya disebut PPd Tahun 1944. Aturan ini berlaku hingga tahun 1983 ketika Reformasi Sistem Perpajakan mulai diterapkan. 

Menjelang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Mei 1950, pemerintah menyeragamkan peraturan-peraturan pemungutan pajak-pajak penting di seluruh Indonesia, dengan mengeluarkan Undang-Undang Darurat (UUDRT) Nomor 36 Tahun 1950 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Darurat dan Ordonansi-Ordonansi Mengenai Masalah-Masalah Pajak. Pada 1951, pemerintah memberlakukan jenis pajak baru, yakni Pajak Penjualan (PPn) berdasarkan Undang-Undang Drt. No. 19 Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan, yang kemudian dikukuhkan dengan UndangUndang No. 35 Tahun 1953. 

Menjelang akhir masa kepemimpinan Soekarno, muncul gagasan-gagasan sebagai upaya meningkatkan penerimaan dari pajak. Di antara gagasan tersebut adalah pemerintah perlu memperbaiki pemungutan pajak dari keuntungan perusahaan-perusahaan negara. Mulai tumbuh pula pemikiran inovatif bahwa keadilan pajak harus ditegakkan. Misalnya dengan memberlakukan pajak progresif untuk Pajak Kepemilikan, di mana nilai Pajak Kepemilikan harus lebih besar dari Pajak Penghasilan. Setelah era Orde Lama, aspek administrasi perpajakan juga mengalami perubahan, antara lain melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang mengatur perubahan dan penyempurnaan atas tata cara pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan tahun 1932, dan Pajak Perseroan. Tata cara ketiga jenis pungutan pajak tersebut dituangkan dalam satu UU, tidak lagi mengikuti ketentuan dalam masing-masing Undang-Undang per jenis pajak terkait. UU No. 8 Tahun 1967 juga mengatur tata cara baru Menghitung Pajak Sendiri (MPS) atas kewajiban pajaknya dan Menghitung Pajak Orang Lain (MPO) bagi mereka yang ditunjuk sebagai pemungut atau pemotong pajak orang lain (witholding tax).

Pada 1983, Tim Reformasi berhasil merampungkan sistem perpajakan baru yang lebih sederhana dan lebih bisa meningkatkan peran serta masyarakat untuk membayar pajak. Tim berhasil menyelesaikan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) bidang perpajakan, yaitu RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), RUU Pajak Penghasilan (PPh), dan RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). DPR mengesahkan tiga RUU Perpajakan menjadi undang-undang. Tiga undang-undang itu adalah Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan UU No. 8 Tahun 1983tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Ketiga undang-undang ini berlaku pada 1 Januari 1984. Selang dua tahun kemudian, pemerintah menerbitkan dua undang-undang lagi, yakni Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. 

(Reformasi Administrasi Pajak Dari Masa ke Masa, DJP, 2023)

NEGARA YANG TIDAK MENGENAKAN PAJAK PENGHASILAN

Terdapat beberapa negara penghasil minyak di Timur Tengah yang tidak menerapkan pajak perusahaan atau pajak penghasilan, dan Uni Emirat Arab merupakan salah satunya yang memiliki pemerintahan dan perekonomian yang stabil. Uni Emirat Arab memiliki perekonomian yang berkembang dan lingkungan yang lebih multikultural dibandingkan mayoritas negara di Timur Tengah. Hal ini berarti terdapat banyak pilihan makanan dan hiburan. Lalu, terdapat fasilitas pendidikan yang sangat baik dan populasi yang dapat berbahasa Inggris.


Bermuda merupakan negara lain yang bebas pajak penghasilan di Kepulauan Karibia selain Bahama. Namun, biaya hidup di Bermuda jauh lebih tinggi karena letak Bermuda yang terpencil. Bermuda adalah negara yang lebih berkembang dibandingkan dengan negara lainnya di Kepulauan Karibia. Bermuda juga termasuk negara yang memiliki pemandangan dan destinasi yang indah.


Monako dikenal sebagai tempat berlibur para orang-orang kaya di dunia. Terletak di French Riviera, Monako memiliki marina luas yang ditempati oleh sejumlah kapal pesiar dari seluruh dunia. Monako juga merupakan salah satu tuan rumah dari acara favorit para orang kaya, yaitu Formula One Monaco Grand Prix. Saat acara tersebut berlangsung, harga sewa apartemen di Monako dapat mencapai US$ 10 ribu atau setara Rp 158,6 juta (kurs Rp 15.862) per malam.


Pembebasan pajak di baham dapat dinikmati tergantung dengan tempat tinggal, bukan berdasarkan status kewarganegaraannya. Persyaratan untuk dapat tinggal di Bahama adalah dengan membayar Annual Residence Permit atau Izin Tinggal Tahunan. Cara lainnya adalah dengan memperoleh status penduduk permanen berdasarkan pembelian real estat di Bahama. Bahama sendiri memiliki infrastruktur dan layanan publik yang baik, tetapi masih kurang untuk bidak kedokterannya. Secara keseluruhan, Bahama masihlah tempat yang menyenangkan untuk ditinggali.


Sumber: 

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5338454/bisa-nikmati-sepenuhnya-penghasilan-warga-4-negara-ini-bebas-pajak?page=3

https://www.pajakku.com/read/61a8eabc21f27e4ee34a7270/Ini-Dia-4-Negara-Bebas-PPh!



Tax Heaven

OECD pada tahun 1998 mengeluarkan dokumen Anti-Harmful Tax Competition dan menyusun daftar hitam negara suaka pajak. Sejak saat itu genderang perang terhadap tax havens dimulai. Menurut IMF, setidaknya diidentifikasi 60 teritori suaka pajak. Tujuh tax havens terbaik (Hoyt:2007) adalah Switzerland, Liechtenstein, Austria, Panama, Saint Kitts and Nevis, Belize, Hong Kong. Sedangkan 11 tax havens terbaik untuk melindungi asset (Hadnum:2011) adalah Jersey (Channel Island / European Mediterania), Liechtenstein, The Cayman Island, St Kitt Nevis, Panama, Gilbatar, Isle of Man, Bermuda, Bahamas, Austria, New Zealand.


https://money.kompas.com/read/2016/04/11/060300926/Mengenal.Tax.Haven.atau.Suaka.Pajak.dan.Fakta.Mencengangkan.di.Baliknya?page=all.