HUKUM TELEMATIKA

PENGERTIAN

keseluruhan asas, norma dan kaidah lembaga-lembaga, institusi dan proses yang mengatur kegiatan virtual yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi, memanfaatkan konten multimedia dan infrastruktur komunikasi.

Pasal 2 UUNOMOR 11 TAHUN 2008  ITE

Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia

--à Ekstrateritorial


Pasal 18 UU NO 11 TAHUN 2008 ITE

1.Para pihak .memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

2.Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

3.Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

4.Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.


Dalam Convention on the Choice of Court 1965, pilihan yuridiksi terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional, namun tidak berlaku bagi:

1.status kewarganegaraan orang atau hukum keluarga termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami dan isteri;

2.permasalahan alimentasi yang tidak temasuk dalam poin (1);

3.warisan;

4.kepailitan; dan

5.hak-hak atas benda tidak bergerak.


ONLINE DISPUTE RESOLUTION (ODR) SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI ERA MODERNISASI

Pascasarjana IAIN Tulungagung

Conventionally, business disputes are settled by litigation. While the settlement process is more focused on domination which leads to the opposing party's position, far from the concept of integration which is a win-win solution. It cannot be denied either because the settlement process through litigation takes quite a long time and depends on the company or the parties in dispute. In the business world today, being approved through the court is not approved by many parties. Then came the agreement through the non-litigation way. One of it is Online Dispute Resolution (ODR). ODR is an agreement from the virtual world (internet) without having a physical meeting. ODR has been carried out in many countries in America and in Europe. This is indicated by the agreement represented by their website which is presented resolved by this Online Dispute Resolution.

Secara konvensional, penyelesaian sengketa bisnis pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan (litigasi). Adapun proses litigasi lebih bergaya dominasi yang menyebabkan posisi para pihak yang berlawanan, jauh dari konsep integrasi yang bersifat win-win solution. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa proses penyelesaian melalui litigasi membutuhkan waktu yang cukup lama dan menyebabkan ketidakpastian bagi perusahaan atau para pihak yang bersengketa. Didalam dunia bisnis saat ini, penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak disukai oleh banyak pihak. Selanjutnya munculllah penyelesaian sengketa melalui jalur non letigasi. Salah satu bentuk non letigasi ini adalah Online Dispute Resolution (ODR). ODR merupakan penyelesaian sengketa melalui dunia maya
(internet) tanpa melakukan pertemuan secara fisik. ODR sudah dilakukan di banyak negara di Amerika dan di Eropa. Hal ini ditandai dengan munculnya institusi yang direpresentasikan oleh website mereka yang melayani penyelesaian sengketa dengan jalur Online Dispute Resolution ini.


Cyber law yang merupakan keseluruhan asas-asas, norma ataupun kaidah lembaga-lembaga, institusi-institusi dan proses yang mengatur kegiatan virtual yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi, memanfaatkan konten multimedia dan infrastruktur telekomunikasi.

Meskipun dunia siber adalah dunia virtual, hukum tetap diperlukan karena setidaknya 2 (dua) hal,yakni: 

(1) masyarakat yang berada di dalam dunia virtual adalah masyarakat pada dunia nyata, masyarakat yang memiliki kepentingan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang perlu dilindungi; dan 

(2) walaupun terjadi di dunia virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh dalam dunia nyata, baik secara ekonomis maupun non-ekonomis.


Yurisdiksi Hukum Indonesia bagi WNA yang melakukan kejahatan siber 

a.     Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”. Penjelasan Pasal 2: Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.

b.     Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 UU 1/2023 berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia di luar wilayah Indonesia berdasar atas kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuk orang asing yang melakukannya di mana saja pantas dihukum oleh pengadilan negara Indonesia.

c.  Pasal 6 UU 1/2023 yang pada intinya menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang di luar wilayah Indonesia yang melakukan kejahatan yang melibatkan kepentingan bersama negara di dunia.

Dengan demikian atas kasus di atas dapat disidang dan dipidana melalui Pengadilan di Indonesia.


Ketentuan negara asal WNA mengajukan permohonan mengadili di negara asal

Sesuai Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi disebutkan bahwa Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

Di dalam Undang-undang ini diatur azas umum yang dikenal dalam bidang ekstradisi, antara lain :

a.   Azas kejahatan rangkap (double Criminality), yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan. Azas ini tercantum di dalam daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan sebagai lampiran dari Undang-undang ini. (pasal 4);

b.   Azas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak (pasal 5);

c.    Azas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warganegaranya sendiri. (Pasal 7);

d.   Azas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau tidak dianggap termasuk dalam jurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi. (Pasal 8);

e.   Azas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya. (Pasal 9);

f.     Azas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh Pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak (non bis in idem). (Pasal 10);

g.   Azas bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah kedaluwarsa.(Pasal 12);

h.   Azas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisikan selain dari pada untuk kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya. (Pasal 15)

Sesuai dengan pasal 4 Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana disebutkan bahwa Ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak memberikan wewenang untuk mengadakan:

a.       ekstradisi atau penyerahan orang;

b.       penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang;

c.       pengalihan narapidana; atau

d.       pengalihan perkara

 Pasal 3 (1) Bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang selanjutnya disebut Bantuan, merupakan permintaan Bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Negara Diminta.

(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: 

a. mengidentifikasi dan mencari orang; 

b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; 

c. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; 

d. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;

e. menyampaikan surat; 

f. melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; 

g. perampasan hasil tindak pidana; h. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; 

i. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; 

j. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau 

k. Bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang ini. 

Pilihan para pihak dalam kontrak mengenai pilihan pengadilan negara manakah yang berwenang mengadili perkara mereka disebut choice of forum

Prinsip tempat kedudukan yang efektif yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi status badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu melakukan usahanya disebut Siegee Reel 

Hukum Perdata Internasional (HPI) memiliki 2 (dua) prinsip The place of incorporation dan Siegee Reel 

Regulasi siber Amerika Serikat yang bersifat khusus adalah Electronic Communication Privacy Act (ECPA) 

Jurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara adalah pendapat dari Rebecca M.M Wallace 

e-commerce

Ketentuan mengenai e-commerce diatur dalam berbagai regulasi, antara lain:

•UU No. 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

•UU No. 11/ 2008 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 19/2016 mengenai Informasi dan Transakasi Elektronik;

•UU No. 7/2014 tentang Perdagangan;

•PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik;

•PP No. 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

•Perpres No. 74/2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road map e-commerce)