TAX TREATY
TAX TREATY
Pasal 32A UU PPH
Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
a. penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
c. pertukaran informasi perpajakan;
d. bantuan penagihan pajak; dan
e. kerja sama perpajakan lainnya. ******)
Tentang P3B
Bagaimana dasar hukum pembentukan P3B, terutama dalam kaitannya dengan ketentuan perpajakan?
Sesuai dengan UU PPh, Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
pertukaran informasi perpajakan;
bantuan penagihan pajak; dan
kerja sama perpajakan lainnya.
Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, Pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Apakah P3B dapat menimbulkan hak pemajakan baru?
Tidak, karena P3B adalah suatu ketentuan yang dipergunakan untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas transaksi lintas batas yang terjadi antar negara.
Dalam konteks perpajakan internasional, sistem pajak worldwide dan territorial merupakan alternatif utama yang digunakan negara domisili untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari Luar Negeri. Apakah yang dimaksud dengan sistem pajak worldwide dan territorial tersebut?
• Setiap negara bebas untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, pada umumnya, sistem perpajakan internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili (the residence principle) dan prinsip sumber (the territoriality principle).
• Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Sementara, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial.
• Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak.
• Negara yang menganut sistem pajak worldwide akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negaranya.
Apabila terjadi konflik atau perbedaan pengaturan pada ketentuan domestik dan P3B atas suatu transaksi internasional, ketentuan manakah yang berlaku?
• P3B merupakan ketentuan lex-spesialis. Oleh karenanya, apabila terjadi konflik antara ketentuan P3B dan ketentuan domestik atas suatu transaksi internasional, ketentuan P3B lebih diutamakan.
• Berdasarkan PMK-202/PMK.0102017 s.t.d.t.d PMK-236/PMK.010/2020, dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.
• Penjelasan Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
• Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.010/2017 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020
Bagaimana jika tarif pemotongan/pemungutan pajak atas bunga, royalti atau dividen dalam P3B lebih besar dibandingkan dengan tarif menurut ketentuan domestik?
• Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan perjanjian.
• Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih besar, maka tarif yang digunakan adalah yang sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.
Bagaimana pengenaan pajak berganda pada transaksi internasional dapat terjadi?
Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut:
Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena bersumber di negara tersebut.
Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya.
Negara A dan Negara B mengenakan pajak terhadap seorang Wajib Pajak, karena masing-masing negara mengklaim sebagai penduduk di negaranya.
Apakah penyebab terjadinya pajak berganda internasional?
Pajak berganda internasional akan timbul karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Pengenaan pajak berganda internasional timbul karena tiga konflik berikut:
Konflik antar sesama Negara sumber
Konflik antar sesama Negara domisili
Konflik antar Negara sumber – Negara domisil
Ketentuan P3B
a. Penentuan Status WPDN/WPLN
Pada tanggal 1 Juni 2019, Tuan A yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia meninggalkan Indonesia untuk bekerja di negara X. Selama bekerja di negara X, Tuan A tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bagaimana status tuan A sebagai Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada tahun 2019, dan bagaimana pemajakan atas penghasilan yang diterima di negara X?
• Sesuai dengan Pasal 2 PMK-18/PMK.03/2021, Tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia sepanjang yang bersangkutan masih:
bertempat tinggal di Indonesia;
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
• Sesuai dengan Pasal 3 PMK-18/PMK.03/2021, Tuan A dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri jika Tuan A merupakan:
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
bertempat tinggal secara permanen di suatu tempat di luar Indonesia yang bukan merupakan tempat persinggahan;
memiliki pusat kegiatan utama yang menunjukkan keterikatan pribadi, ekonomi, dan/atau sosial di luar Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan:
suami atau isteri, anak-anak, dan/atau keluarga terdekat bertempat tinggal di luar Indonesia;
sumber penghasilan berasal dari luar Indonesia; dan/atau
menjadi anggota organisasi keagamaan, pendidikan, sosial, dan/atau kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah negara setempat;
memiliki tempat menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari di luar Indonesia;
menjadi subjek pajak dalam negeri negara atau yurisdiksi lain; dan/atau
persyaratan tertentu lainnya.
• Dalam hal terdapat P3B Indonesia dengan negara X, maka penentuan status subjek pajak tuan A dan pemajakan atas penghasilannya ditentukan berdasarkan ketentuan dalam P3B antara Indonesia dengan negara tersebut.
• Dalam hal tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia, maka atas penghasilan yang diperoleh Tuan A di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 2 ayat (3) dan
Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Untuk orang pribadi yang berkewarganegaraan asing (WNA) yang bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu lebih dari 183 hari dalam 12 bulan kemudian WNA tersebut sudah memiliki NPWP dan bukan merupakan BUT, apakah memungkinkan untuk WNA tersebut dapat dikategorikan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan dapat memperoleh Surat Keterangan Domisili (SKD) dari Indonesia?
WNA yang telah memenuhi syarat sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU PPh dan telah memiliki NPWP, WNA tersebut telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga memiliki hak dan kewajiban termasuk dapat mengajukan permohonan penerbitan SKD sepanjang permohonan yang diajukan tersebut telah memenuhi ketentuan dalam PER-28/PJ/2018.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 2 ayat (3) dan
Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Mr. FN adalah seorang warga negara Australia. Pada tahun 2021 ia menikah dengan seorang warga negara Indonesia dan dikarunia seorang anak. la membeli sebuah apartemen di Indonesia untuk keluarganya tinggal. Mr. FN memiliki kontrak kerja yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari. Bagaimana status subjek pajak Mr. FN di Indonesia pada tahun 2021?
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dan (4) PMK-18/PMK.03/2021, Mr. FN dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia karena mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia.
• Dalam hal pemerintah Australia juga mengklaim bahwa Mr. FN merupakan subjek pajak dalam negeri Australia, maka penentuan subjek pajak dilakukan berdasarkan ketentuan mengenai penduduk (residence) dalam P3B Indonesia-Australia dengan memperhatikan klausul tie-breaker rules.
• Dalam P3B Indonesia-Australia diatur bahwa apabila seorang merupakan penduduk di kedua Negara, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut:
orang tersebut akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
apabila la mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya di kedua Negara atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap dikedua negara, ia akan dianggap sebagai penduduk di salah satu negara di mana ia menurut kebiasaannya berdiam;
apabila ia mempunyai kebiasaan berdiam di kedua Negara atau tidak mempunyai tempat dimana ia biasanya berdiam, ia akan dianggap sebagai Penduduk dalam negeri dari Negara dimana ia mempunyai hubungan pribadi dan hubungan ekonomi yang lebih erat.
• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
• Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. Pasal 4 tentang Penduduk (Residence)
b. Contoh Artikel P3B
Bagaimana perbedaan royalti menurut OECD Model Tax Convention dan UN Model Tax Convention?
a. Pasal 12 ayat (2) OECD Model mendefinisikan royalti sebagai berikut:
“Setiap pembayaran dalam bentuk apa pun yang diterima sebagai imbalan untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusastraan, karya seni, atau karya ilmiah termasuk film-film sinematografi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau untuk informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan”. Sementara itu, UN Model memberikan definisi royalti yang lebih luas karena terdapat jenis pembayaran yang termasuk dalam penghasilan royalti berdasarkan UN Model, tetapi tidak lagi termasuk dalam OECD Model yaitu penghasilan atas hak pemakaian Industrial, Comercial, Scientific (ICS) Equipment. Penghasilan atas hak menggunakan ICS sudah tidak lagi diatur di Pasal 12(2) OECD Model. Penghasilan ini termasuk Business Profit Pasal 7 OECD Model.
b. Mengacu Pasal 12 ayat (3) UN Model, definisi royalti adalah sebagai berikut:
“Setiap pembayaran dalam bentuk apa pun yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusastraan, karya seni, atau karya ilmiah termasuk film-film sinematografi, atau film atau pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio atau televisi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau untuk menggunakan, atau hak untuk menggunakan, perlengkapan perindustrian, perdagangan atau ilmiah atau atas informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan”.
• Model P3B:
Pasal 12 ayat (2) OECD Model
Pasal 12 ayat (3) UN Model
Sewa Mesin
PT X menyewa barang bergerak berupa mesin dari perusahaan di Negara ABC yang memiliki P3B dengan Indonesia. Kegiatan utama perusahaan tersebut adalah perdagangan bukan sewa menyewa mesin. Bagaimana perlakuan PPh atas sewa mesin tersebut?
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PPh, atas royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Pemajakan atas transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan pada P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra.
Jika pada pasal P3B diatur bahwa pembayaran atas sewa mesin diklasifikasikan sebagai royalti, maka pemajakan atas transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal royalti tersebut.
Jika pada pasal P3B pembayaran atas sewa mesin tidak diatur secara spesifik, pemajakan atas transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal tentang Business Profit.
Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 26 ayat (1) huruf c
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
P3B Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
Jasa
PT. A bergerak di bidang usaha pelayaran di jalur internasional.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di kapal, PT. A memanfaatkan jasa outsourcing tenaga kerja dari perusahaan di Singapura, sebut saja X. Ltd. Atas jasa yang diberikannya, X Ltd memberikan tagihan kepada PT A dengan rincian gaji tenaga kerja dan fee.
Bagaimana perlakuan PPh atas biaya gaji dan fee nya?
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Untuk transaksi pembayaran klaim biaya gaji outsourcing tenaga kerja dan fee, maka atas pembayaran tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan dari kegiatan usaha, sehingga masuk dalam cakupan pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-Singapura.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-Singapura, laba usaha yang diterima oleh negara domisili dari menjalankan usahanya di negara sumber hanya dapat dipajaki di negara domisili. Namun demikian, apabila perusahaan tersebut dalam menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber melalui bentuk usaha tetap (BUT) yang berada di negara sumber, maka negara sumber juga dapat mengenakan pajak atas laba yang diatribusikan kepada BUT tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) P3B Indonesia-Singapura.
Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia-Singapura, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf d
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion With Respect to Taxes on Income:
pasal 1, mengatur mengenai cakupan resident yang dapat menerima manfaat P3B, dan
pasal 7 ayat (1), mengatur mengenai alokasi hak pemajakan atas laba usaha.
Shipping and Aircraft
PT RST menggunakan jasa pengangkutan kapal laut dari perusahaan pelayaran yang memiliki tempat manajemen efektif di Negara ABC, yaitu MBS, Co., untuk mengangkut bahan baku produksi dari Jakarta ke Negara ABC. Pengoperasian kapal tetap dilakukan oleh MBS, Co.
Indonesia mempunyai P3B dengan Negara ABC yang mencakup pasal 8 terkait Shipping and Air Transport.
Bagaimana pemajakan atas pembayaran dari PT RST kepada MBS, Co?
Ketentuan pajak domestik atas penghasilan yang diperoleh subjek pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri diatur dalam Pasal 15 UU PPh dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (selanjutnya disebut dengan KMK-417). Dalam KMK-417, besarnya pajak penghasilan bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 2.64% dari peredaran bruto;
Sesuai dengan ketentuan P3B Indonesia-Negara ABC, Pasal 8 terkait shipping and air transport diatur bahwa profit dari pengoperasian kapal atau pesawat dalam jalur internasional hanya dapat dipajaki di negara tempat manajemen efektif berada.
Pengimplementasian ketentuan P3B Indonesia-Negara ABC harus memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018 bahwa WPLN harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1)
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
pasal 8 P3B Indonesia dan Negara ABC mengatur mengenai ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional.
Dividen
PT. ABC memiliki 100% saham XYZ Ltd. di negara X. Pada tahun 2019, XYZ Ltd. membukukan Laba Setelah Pajak sebesar USD 1 Miliar.
Setelah mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada tanggal 4 November 2020, XYZ.Ltd membagikan dividen 30% dari Laba Setelah Pajak.
PT ABC selanjutnya menginvestasikan seluruh dividen yang diterima dari XYZ Ltd. dalam bentuk surat berharga syariah Negara Republik Indonesia dan investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah.
Bagaimana perlakuan perpajakan atas dividen yang diterima oleh PT. ABC?
Sesuai dengan ketentuan PMK-18/PMK.03/2021, dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat antara lain:
harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat selama 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak Tahun Pajak Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh;
investasi tersebut dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir, untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya Dividen atau penghasilan lain dan tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
berasal dari paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak;
harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh; dan
berasal dari Laba Setelah Pajak mulai Tahun Pajak 2020, yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 2 November 2020.
Dengan demikian, dalam hal dividen yang diterima PT ABC dari XYZ Ltd. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PMK-18/PMK.03/2018, maka dividen tersebut dikecualikan dari objek PPh.
Selanjutnya PT ABC wajib melaporkan dividen tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 PMK-18/PMK.03/2018 dan melaporkan laporan realisasi investasi sesuai dengan Pasal 41 PMK-18/PMK.03/2018.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
a. Pasal 14,
b. Pasal 17,
c. Pasal 21,
d. Pasal 34
e. Pasal 35,
f. Pasal 36, dan
g. Pasal 37
Dividen
DEF.Co berstatus sebagai WPLN dan berdomisili di negara A. Pada 2019, DEF.Co menerima penghasilan berupa dividen dari PT. Y yang merupakan WPDN Indonesia. Terdapat P3B antara Indonesia dan negara A. Atas penghasilan dividen tersebut. DEF.Co memperoleh fasilitas P3B setelah menyampaikan SKD WPLN, sehingga PT. Y tidak melakukan pemotongan PPh. Jika kemudian ditemukan bukti bahwa SKD WPLN tersebut tidak memenuhi ketentuan, bagaimana perlakuan atas pemotongan PPh dividen yang diterima DEF.Co?
• Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh, dividen yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang wajib membayarkan
• Lebih lanjut, PER-25/PJ/2018 mengatur bahwa:
Pasal 2, WPLN yang menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan:
penerima penghasilan bukan SPDN Indonesia;
penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
tidak terjadi penyalahgunaan P3B (lebih lanjut diatur dalam Pasal 5); dan
penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Pasal 3 ayat (1), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh.
Pasal 3 ayat (2), dalam hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 2.
Pasal 3 ayat (3), dalam hal berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh.
Pasal 7 ayat (8), dalam hal berdasarkan pengecekan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf a
•Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
a. Pasal 2,
b. Pasal 3 ayat (1),
c. Pasal 3 ayat (2),
d. Pasal 3 ayat (3), dan
e. Pasal 7 ayat (8)
Bunga
PT IAB membayar bunga atas pinjaman kepada cabang Bank RNI di Singapura. Bank RNI merupakan bank yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Apakah pembayaran bunga tersebut dipotong PPh Pasal 26?
Bank RNI cabang Singapura adalah BUT dari Bank RNI (Indonesia) yang merupakan satu kesatuan.
Sehingga Bank RNI cabang Singapura tidak termasuk sebagai penduduk (residence) Singapura.
Pembayaran bunga yang bersumber dari Indonesia kepada Bank RNI cabang Singapura merupakan objek PPh Pasal 23.
Sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) huruf a UU PPh, pemotongan PPh atas bunga tersebut tidak dilakukan.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 23 ayat (4) huruf a
Bunga (P3B Indonesia – Jepang)
PT DEF membayar bunga atas pinjaman kepada Bank JNB yang berkedudukan di Jepang. Bank JNB tidak mempunyai kantor cabang (BUT) yang didirikan di Indonesia. Atas pembayaran bunga tersebut, apakah PT DEF mengacu pada ketentuan tentang laba usaha (business profit) atau ketentuan mengenai bunga (interest) dalam P3B Indonesia-Jepang?
Dalam Pasal 7 ayat (7) P3B Indonesia-Jepang disebutkan bahwa jika dalam jumlah laba usaha termasuk unsur-unsur pendapatan yang diatur secara tersendiri oleh pasal-pasal lain dari Persetujuan ini, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal itu tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal ini.
Walaupun pembayaran bunga tersebut merupakan laba usaha (business profit) Bank JNB, PT DEF dalam kasus ini mengacu pada Pasal 11 tentang bunga (interest) dalam P3B Indonesia-Jepang.
Agreement between Japan and the Republic of Indonesia for the Avoidance of Doble Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income
a. Pasal 7 ayat (7)
b. Pasal 11
Royalti
Tn. X berstatus sebagai WPLN dan berdomisili di negara A. Pada 2019, Tn. X menerima penghasilan berupa royalti dari PT. Y yang merupakan WPDN Indonesia. Atas penghasilan tersebut, PT. Y melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% karena Tn. X tidak dapat menunjukkan SKD, padahal terdapat P3B antara Indonesia dan negara A. Jika kemudian Tn. X dapat menunjukkan SKD WPLN, bagaimana perlakuan atas pemotongan PPh royalti yang diterima Tn. X?
• Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, royalti yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang wajib membayarkan.
• Lebih lanjut, PER-25/PJ/2018 mengatur bahwa:
Pasal 2, WPLN yang menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan:
penerima penghasilan bukan SPDN Indonesia;
penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
tidak terjadi penyalahgunaan P3B (lebih lanjut diatur dalam Pasal 5); dan
penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Pasal 10 ayat (1) huruf b, WPLN dapat meminta pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak terkait penerapan P3B yang salah satunya disebabkan oleh keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B setelah terjadi pemotongan dan/atau pemungutan.
Pasal 10 ayat (3), keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (1) huruf b adalah keterlambatan penyampaian SKD oleh WPLN setelah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf c
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
Pasal 2,
Pasal 3 ayat (1)
Pasal 3 ayat (2),
Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan
Pasal 10 ayat (3)
Penjualan atau Pengalihan Harta
Bagaimana perlakuan perpajakan atas pengalihan harta di Indonesia yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri?
•Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) PMK-82/PMK.03/2009, Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
• Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud adalah sebesar 25% dari harga jual sehingga jumlah pajak yang dipotong/dipungut adalah sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%).
• Pasal 2 ayat (4) PMK-82/PMK.03/2009 mengatur mengenai cakupan jenis harta yang dimaksud dalam klausul penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yaitu penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (2)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
Penjualan atau Pengalihan Harta
Apakah ada batasan jumlah penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26?
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) PMK-82/PMK.03/2009, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Penjualan saham
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) memiliki 20% saham PT. A (Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang tidak berstatus sebagai emiten). WPLN tersebut menjual semua saham yang dimilikinya kepada WPLN lainnya. Transaksi penjualan saham ini terjadi di luar negeri. Apakah atas transaksi ini terutang PPh di Indonesia?
• Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) KMK-434/KMK.04/1999, penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) KMK-434/KMK.04/1999, terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak hanya dilakukan apabila, berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
• Untuk dapat menerapkan ketentuan yang berlaku dalam P3B, maka persyaratan yang diatur dalam PER-25/PJ/2018 harus dipenuhi.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (2)
• Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Penjualan saham
Houston Co., perusahaan yang berdomisili Australia, memiliki 50% saham PT. FMN yang sebagian besar asetnya berupa aktiva tetap. PT FMN tidak berstatus sebagai emiten. Pada tahun 2019, Houston Co. menjual 25% kepemilikan sahamnya pada PT. FMN kepada Phoenix Co. yang juga merupakan perusahaan Australia (Transaksi 1) dan sisanya sebesar 25% dijual kepada PT. SPH (Transaksi 2). Bagaimana pemajakan terhadap transaksi penjualan tersebut?
• Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia - Australia, hak pemajakan atas transaksi pengalihan saham perusahaan yang asetnya sebagian besar berupa aktiva tetap, berada pada negara dimana aktiva tetap tersebut berada yaitu di Indonesia.
• Terhadap Transaksi 1, penghasilan dari penjualan saham tersebut terutang pajak PPh Pasal 26 final sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%) dari harga jual, yang dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh PT FMN.
• Terhadap Transaksi 2, atas penghasilan yang diterima Houston Co. dipotong PPh Pasal 26 final sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%) dari harga jual oleh PT SPH.
PT SPH juga berkewajiban menyetor dan melaporkan PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut.
Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. Article 13 ayat (4)
Penjualan saham
Penjualan saham di bursa efek oleh penjual yang berstatus Warga Negara Asing, apakah dilakukan pemotongan PPh Pasal 26?
Berdasarkan PP No.14 Tahun 1997 dan KMK- 282/KMK.04/1997, saham yang diperjualbelikan di bursa efek dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2).
• Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek s.t.d.t.d. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1997
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
Dependant Personal Services
Mr. J, Warga Negara Amerika Serikat, dikirim oleh perusahaannya XYZ Co. yang merupakan subjek Pajak dalam negeri Amerika Serikat, untuk bekerja di BUT XYZ di Indonesia. Selama bekerja di BUT XYZ, gaji dan remunerasi Mr. J dibayarkan oleh XYZ Co.
Bagaimana kewajiban perpajakan BUT XYZ terhadap Mr. J?
• Pasal 16 P3B Indonesia-Amerika Serikat, mengenai pekerjaan dalam hubungan kerja (dependent personal services) mengatur bahwa penghasilan yang diperoleh penduduk suatu Negara dalam suatu hubungan kerja yang dilakukan di Negara lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara domisili penerima penghasilan tersebut, apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
penerima penghasilan berada di Negara lainnya tersebut dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 120 hari dalam jangka waktu 12 bulan; dan
penghasilan dibayarkan oleh, atau atas nama, pemberi kerja yang bukan merupakan SPDN Negara Sumber tersebut; dan
penghasilan tersebut tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja itu di Negara lain tersebut.
• Apabila salah satu atau lebih dari kondisi tersebut tidak terpenuhi, hak pemajakan atas penghasilan Mr. J berada di Indonesia dan BUT XYZ wajib memotong pajak atas penghasilan yang diterima oleh Mr. J, dan menyetor serta melaporkan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Convention Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the United States of America (as amended by 1996 Protocol) for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income
a. Article 16
Jasa Konsultasi (P3B Indonesia – Australia)
Mr. CR, warga Negara Australia, dikontrak oleh PT MFG untuk memberikan konsultasi terkait profesinya sebagai ahli hukum/lawyer. Mr. CR pada tahun 2019 berada di Indonesia selama 150 hari.
Bagaimana pemotongan pajak yang harus dilakukan oleh PT MFG?
• Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
• Dalam hal Mr. CR (SPLN) dikontrak oleh PT. MFG (WPDN) untuk memberikan konsultasi terkait profesinya sebagai ahli hukum/lawyer dan berada di Indonesia dalam jangka waktu 150 hari, maka atas pembayaran gaji Mr. CR akan masuk dalam cakupan pasal 14 Independent Personal Services P3B Indonesia-Australia;
• Pasal 14 P3B Indonesia-Australia memberikan ketentuan bahwa atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi dari pemberian jasa professional (sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal tersebut) atau pekerjaan bebas lainnya, hanya dapat dikenakan pajak (shall be taxable only) di negara domisili. Namun demikian, terdapat pengecualian atas ketentuan tersebut dimana negara sumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan tersebut sebagai berikut:
apabila orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
apabila orang pribadi tersebut tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau jumlah harinya melebihi 120 hari dalam masa 12 bulan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut di negara sumber.
• Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia-Australia, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf d
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. pasal 1, mengatur mengenai cakupan resident yang dapat menerima manfaat P3B;
b. pasal 14, mengatur mengenai alokasi hak pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan bebas (independent personal services).
Pelajar dan Peserta Magang
Bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima pelajar atau peserta magang sehubungan dengan kegiatan pendidikan atau pelatihan yang dilaksanakan di luar negeri?
• Dalam OECD Model dan UN Model, ketentuan mengenai hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh pelajar dan peserta magang terdapat dalam Pasal 20.
• Pasal ini memberikan pembebasan pajak kepada pelajar dan peserta magang di negara dimana pelajar dan peserta magang tersebut melakukan kegiatan pembelajaran atau magang.
Contoh:
Tuan Dani yang merupakan SPDN Indonesia dikirimkan oleh PT GHI untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Negara ZE (negara tuan rumah). PT GHI mengirimkan biaya hidup dan biaya pelatihan kepada Tuan Dani. Ketentuan dalam P3B antara Negara Indonesia dengan Negara ZE mengatur bahwa pembayaran untuk keperluan biaya hidup, pendidikan atau pelatihan yang diterima oleh pelajar, mahasiswa, pegawai yang ikut serta dalam pelatihan, dan pegawai magang tidak dikenai pajak di Negara Pihak dalam Persetujuan yang menjadi tempat atau lokasi dilakukannya kegiatan pendidikan atau pelatihan sepanjang pembayaran tertentu tersebut bersumber dari luar Negara dimaksud.
• P3B Indonesia dengan negara-negara mitra
• Model P3B
Premi Asuransi dan Reasuransi
Perusahaan asuransi di Indonesia melakukan reasuransi di Singapura. Perusahaan asuransi Indonesia tersebut, dalam reasuransi ini menggunakan broker Singapura. Seluruh pembayaran dilakukan kepada broker, bukan kepada pihak tempat dia melakukan reasuransi. Pihak manakah (pihak broker atau tempat reasuransi) yang harus mengisi form DGT nya?
• Sesuai dengan ketentuan dalam PER-25/PJ/2018, untuk dapat memperoleh manfaat P3B, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia wajib menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut. WPLN menggunakan format SKD WPLN sebagaimana tercantum dalam Lampiran PER 25/PJ/2018 (Form DGT).
• Pihak yang harus mengisi DGT untuk dapat menerapkan P3B adalah pihak yang menandatangani kontrak dengan perusahaan asuransi di Indonesia.
• Jika pembayaran seluruhnya dilakukan kepada broker, maka broker-lah yang harus mengisi form DGT-nya.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Implementasi P3B
a. Surat Keterangan Domisili (SKD)
Apa yang dimaksud dengan Surat Keterangan Domisili?
• Surat Keterangan Domisili (SKD) merupakan surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak dimaksud adalah subjek pajak negaranya.
• SKD terbagi menjadi 2 (dua), yakni SKD Wajib Pajak Dalam Negeri (SKD WPDN) dan SKD Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN).
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Apakah SKD dapat diakses secara online?
• Menurut PER-25/PJ/2018 dan PER-28/PJ/2018, SKD dapat diakses secara elektronik melalui https://djponline.pajak.go.id.
• SKD WPDN diakses melalui menu Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), sedangkan SKD WPLN melalui menu e-SKD.
• Wajib Pajak harus telah memiliki akun DJP online terlebih dahulu. Jika belum aktivasi, Wajib Pajak dapat menghubungi Kantor Pelayanan Pajak.
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
b. SKD Wajib Pajak Dalam Negeri
Apakah SKD WPLN yang diterbitkan berlaku sejak tanggal 1 bulan tersebut?
• Berdasarkan PER-25/PJ/2018, SKD WPLN disampaikan melalui laman DJP atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat bersamaan dengan pelaporan SPT Masa Pemotongan dan/atau Pemungutan. Masa berlaku SKD sesuai dengan masa berlaku yang tercantum dalam SKD tersebut dengan mempertimbangkan waktu penyampaian SKD pada laman dimaksud.
• Sebagai contoh, Mr. A, WPLN negara mitra P3B Indonesia, mendapat penghasilan dari PT XYZ di Indonesia sepanjang tahun 2019. Mr. A memiliki SKD WPLN yang berlaku dari Januari s.d. Desember 2019 tetapi baru disampaikan melalui laman DJP tanggal 20 Maret 2019 sebelum SPT Masa Februari disampaikan. Atas hal tersebut, PT XYZ dapat melakukan pemotongan pajak sesuai ketentuan P3B mulai masa pajak Februari s.d. Desember 2019. Sementara untuk masa pajak Januari 2019 dapat diajukan pengembalian kelebihan pajak karena SKD WPLN baru diterima setelah masa pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta penyampaian SPT Masa PPh Januari telah terlewati.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Atas lembaga yang disebutkan dalam perjanjian P3B atau yang selanjutnya disepakati oleh pejabat yang berwenang dari masing-masing Negara Mitra, apakah masih perlu melampirkan SKD?
• Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) PER-25/PJ/2018 yang menjelaskan bahwa Pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B, penerapan P3B dapat dilakukan dengan tidak menggunakan Form DGT.
• Tetapi lembaga-lembaga tersebut wajib menyampaikan Certificate of Resident yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ/2018 atau surat keterangan dari otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang menyatakan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan pihak yang dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu berdasarkan P3B.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Siapa yang menerbitkan SKD bagi BUT di Indonesia yang kantor pusatnya berada di negara mitra?
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) huruf d UU PPh, bentuk usaha tetap (BUT) merupakan subjek pajak luar negeri sehingga SKD untuk BUT diterbitkan oleh otoritas pajak negara mitra di mana kantor pusat dari BUT tersebut berada.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (4) huruf d
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Apa syarat WPLN dapat memanfaatkan P3B?
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 PER-25/PJ/2018, syarat WPLN dapat memanfaatkan ketentuan P3B yakni (persyaratan kumulatif):
bukan Subjek Pajak Dalam Negeri,
Orang Pribadi atau Badan yang merupakan SPDN negara mitra P3B,
tidak terjadi penyalahgunaan P3B, dan
merupakan Beneficial Owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana apabila Pejabat yang berwenang Negara Mitra menolak untuk mengesahkan Form-DGT SKD WPLN?
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ/2018, pengesahan Form DGT oleh negara mitra dapat digantikan dengan Certificate of Residence (CoR) yang harus memenuhi ketentuan:
a. menggunakan bahasa Inggris;
b. paling sedikit mencantumkan informasi mengenai:
nama WPLN
tanggal penerbitan;
tahun pajak berlakunya CoR; dan
nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana Wajib Pajak Luar Negeri berbentuk Badan dapat memperoleh manfaat P3B?
Wajib Pajak Luar Negeri berbentuk Badan dapat memperoleh manfaat P3B sepanjang memenuhi syarat formal dan substansial yang diatur dalam PER-25/PJ/2018.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana perlakuan atas WPLN yang terlambat melampirkan SKD dari negaranya namun telah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak?
• Sesuai dengan Pasal 10 PER-25/PJ/2018, dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi persyaratan administratif, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh yang berlaku.
• WPLN yang terlambat menyampaikan SKD setelah pemotongan dan/atau pemungutan pajak dapat mengajukan pengembalian atas kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak tersebut.
• Pengembalian kelebihan tersebut dapat dilakukan jika pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut tersebut sudah dilaporkan dalam SPT Masa Pemotong atau Pemungut Pajak untuk masa terutangnya pajak.
• Tata cara pengembalian kelebihan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai tata cara atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
• Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana perlakuan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang baru disampaikan pada saat proses keberatan?
• Petunjuk penelitian SKD WPLN dalam SE-35/PJ/2021 huruf E angka 1 butir d dijelaskan bahwa:
“Dalam hal terdapat SKD WPLN yang diterima oleh pemeriksa dalam proses pemeriksaan atau penelaah keberatan dalam proses keberatan atau pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, dokumen tersebut tetap dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sepanjang memenuhi ketentuan formal sebagaimana dimaksud pada huruf b.”
• SKD WPLN diteliti secara formal dan material sesuai dengan ketentuan yang diatur pada PER-25/PJ/2018
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
• SE-35/PJ/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri Pada Proses Pemeriksaan, Keberatan, Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak
Apakah SKD digunakan sebagai dokumen pelengkap permohonan restitusi PPh pasal 26 sehubungan dengan penerapan ketentuan P3B?
Sesuai dengan Pasal 20 PMK nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang, SKD WPLN merupakan salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam permohonan pengembalian kelebihan pajak.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
Apakah Part VI tetap diisi jika penerima penghasilan adalah WPLN non-individual lainnya (selain bank/pension fund) yang menerima penghasilan selain bunga, dividen, dan royalti?
• Sesuai dengan ketentuan dalam PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, untuk WPLN selain orang pribadi (Non Individual):
harus mengisi PART I pada halaman 1 (satu) Form DGT;
harus mengisi PART V dan PART VI pada halaman 2 (dua) Form DGT;
harus mengisi dan menandatangani pernyataan pada PART VII halaman 2 (dua) Form DGT;
meminta penandasahan dari CA negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B pada PART II halaman 1 dari Form DGT.
Penandasahan PART II dapat digantikan oleh CoR yang diterbitkan oleh CA negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
• Part VI harus diisi oleh WPLN Badan atas seluruh jenis penghasilan yang diterima sesuai dengan ketentuan PER-25/PJ/2018.
• Hal ini disebabkan WPLN secara umum perlu menyampaikan SKD WPLN satu kali dalam satu periode sehingga diperlukan pernyataan dalam Form DGT yang mencakup penghasilan yang telah diterima dan penghasilan yang mungkin diterima di masa yang akan datang.
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
d. Kredit Pajak Luar Negeri
PT. ETHERIUM adalah WPDN yang pada tahun pajak 2019 memperoleh dan menerima penghasilan neto dengan rincian sebagai berikut:
Menerima penghasilan usaha sebesar Rp 1,5 Milyar dan dikenai PPh LN sebesar Rp 450 juta di Negara A
Menerima penghasilan bunga sebesar Rp 4,5 Milyar dan dikenai PPh LN Rp 675 juta di negara B
Menderita kerugian dari penjualan harta sebesar Rp 300 juta di negara C
Penghasilan neto dalam negeri sebesar Rp 3 Milyar
Jika tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara A dan B, berapa besarnya PPh LN yang dapat dikreditkan per jenis penghasilan untuk tiap negara atau yurisdiksi?
Berdasarkan Pasal 6 PMK-192/PMK.03/2018, penentuan besarnya PPh LN yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit antara:
Jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di LN dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif
Jumlah PPh LN; dan
Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan LN terhadap PKP dikalikan dengan PPh yang terutang atas PKP, paling tinggi sebesar PPh yang terutang tersebut
Sehingga,
Penghasilan neto LN
Negara A 1.500.000.000
Negara B 4.500.000.000
Negara C 0
Jumlah 6.000.000.000
• Penghasilan neto DN 3.000.000.000
• Penghasilan neto fiskal 9.000.000.000
• PKP 9.000.000.000
• PPh terutang (tarif pasal 17 UU PPh) 2.250.000.000
• PPh LN yang dapat dikreditkan
Negara A
PPh LN 450.000.000
Jumlah tertentu
1,5 Milyar / 9 Milyar x 2,25 Milyar 375.000.000
Jumlah tertentu < PPh LN, sehingga yang dapat dikreditkan sebesar Rp 375 juta
Negara B
PPh LN 675.000.000
Jumlah tertentu
4,5 Milyar / 9 Milyar x 2,25 Milyar 1.125.000.000
PPh LN < jumlah tertentu, sehingga yang dapat dikreditkan sebesar Rp 675 juta
Negara C
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, kerugian dari negara C tidak dapat digabungkan dalam menghitung PKP
Jumlah PPh LN yang dapat dikreditkan PT. ETHERIUM terhadap PPh yang terutang di DN adalah sebesar Rp 1,05 Milyar (Rp 375 juta + Rp 675 juta)
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
a. Pasal 24 ayat (6)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri
a. Pasal 4, dan
b. Pasal 6
5.
Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures and Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Multilateral Instrument, MLI)
Dengan berlakunya MLI, apakah ketentuan dalam P3B tetap berlaku?
• MLI merupakan instrumen yang memodifikasi P3B sesuai dengan rekomendasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Actions. Pembentukan MLI dilakukan agar memudahkan penyelarasan P3B dengan rekomendasi BEPS Actions tersebut mengingat renegosiasi P3B membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.
• Pembentukan MLI ditujukan untuk menghindari proses negosiasi perjanjian yang panjang dan memakan waktu yang lama yang selama ini terjadi pada perjanjian bilateral.
• P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra tetap berlaku, kecuali untuk klausul P3B yang dimodifikasi dengan MLI untuk klausul yang dimodifikasi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana yang diatur dalam MLI.
MLI Convention
Apakah MLI Explanatory Statement memiliki kedudukan yang sama dengan OECD Commentary yaitu tidak mengikat (non-binding)?
• OECD Commentary merupakan guideline dalam menafsirkan ketentuan P3B dan bersifat non-binding, sementara MLI mengikat para pihak penanda tangan (signatories).
• Berbeda dengan Protokol yang langsung mengubah ketentuan dalam P3B, MLI bekerja berdampingan dengan P3B.
• Dengan demikian, ketentuan dalam P3B tetap harus diperhatikan saat mengaplikasikan MLI. Naskah Sintesis (synthesized text) yang ada dalam lampiran surat edaran Pemberlakuan MLI dapat digunakan untuk memudahkan proses tersebut.
• MLI Convention
• SE Pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan Negara/Yurisdiksi Mitra
Mengapa beberapa negara memilih tidak mengadopsi pasal-pasal tertentu dalam MLI?
• Pada dasarnya, setiap negara/yurisdiksi memiliki kedaulatan untuk membentuk ketentuan domestik perpajakannya termasuk untuk mengadopsi maupun tidak mengadopsi pasal-pasal dalam MLI.
• Namun perlu diingat bahwa implementasi MLI memerlukan persetujuan 2 (dua) negara mitra untuk memilih pasal MLI yang sama.
• Jadi misalnya Indonesia memilih suatu pasal untuk dimodifikasi, tetapi negara mitra tidak memilih pasal tersebut (memilih untuk reservasi), maka tidak akan terjadi kesesuaian antara Indonesia dengan negara mitra tersebut, sehingga tidak akan ada modifikasi MLI atas P3B antar Indonesia dengan negara mitra tersebut.
• MLI Convention
Pasal-pasal MLI apa saja yang diadopsi oleh Indonesia?
Indonesia saat ini mengadopsi 11 pasal, yaitu tentang:
dual resident entities (Pasal 4),
purpose of a covered tax agreement (Pasal 6),
prevention of treaty abuse (Pasal 7),
dividend transfer (Pasal 8),
gains transfer of shares derives principally from immovable properties (Pasal 9),
artificial avoidance of PE status through commissionaire (Pasal 12),
artificial avoidance of PE status through specific activity exemption (Pasal 13),
splitting-up contracts (Pasal 14),
definition of closely related enterprise (Pasal 15),
mutual agreement procedure (Pasal 16), dan
corresponding adjustment (Pasal 17).
• MLI Convention
Kapan MLI akan mulai berlaku efektif di Indonesia?
Tanggal berlaku efektif MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra dapat diketahui dalam surat edaran Direktur Jenderal Pajak tentang pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/atau yurisdiksi mitra
• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/atau yurisdiksi mitra
• Pasal 35 MLI Convention
Apakah suatu negara dapat mengubah posisinya dalam MLI?
• Setelah ratifikasi, suatu negara pihak dapat mengubah sebagian Posisi MLI mereka.
• Secara khusus, negara tersebut dapat mengidentifikasi lebih banyak perjanjian (P3B) yang akan dimodifikasi oleh MLI, mengadopsi ketentuan opsional, mengganti atau menarik reservasi.
MLI Information Brochure May 2020