K U P

UU NO 6 TAHUN 1983 stdtd UU NO 7 TAHUN 2021

Pasal 1

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.***

Pasal 2

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. ***)

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. ***)

Pasal 3

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. ***)

Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila: ***)

a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);

c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

Pasal 4

Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. ***)

(2) Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. ***)

(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. ***)

(4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. ***)

(4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak. ***)

(4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.

Pasal 5

Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Pasal 6

Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan. ***)

Pasal 7

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. ***

Pasal 8

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang

telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur

Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. ***)

(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus

disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. ***)

(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang

mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****)

(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: *****)

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d,

sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui

penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(3a) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang

beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah

pajak yang kurang dibayar. *****)

(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat (2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang

mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi

administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo

pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua

puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima

persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan

sanksi. *****)

(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: *****)

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d,

sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui

penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(3a) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang

beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah

pajak yang kurang dibayar. *****)

(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat

Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan,

Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri

tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan ******)

(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan ******)



Pasal 9

(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak

yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling

lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

***)

(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak

Penghasilan disampaikan. ***)

(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang

dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai

sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh

Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan

tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta

bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan

Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu

penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan

dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung

penuh 1 (satu) bulan. *****)

(2c) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2a) dan ayat (2b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5%

(lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya

penghitungan sanksi. *****)

(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan

Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan

jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu)

bulan sejak tanggal diterbitkan. ***)

(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu

pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama

menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan. ***)

(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan

untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 10

(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan

Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti

pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran

yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara

mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Ayat (2)

Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata

cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah

pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya

Pasal 11

(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan

ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung

diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. ***)

(1a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan,

Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi,

Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan

Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding

atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga

dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak

mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang

pajak tersebut. ***)

(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat

Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau

sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan

Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat

Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat

Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan

Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan

Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan

Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. ***)

3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1

(satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan

yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan

pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan

Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan

pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta

bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(3a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang

berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****)

(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Ayat (1)

Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan

jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar

daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang

seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan

pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.

Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak

baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus

diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa

lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.

Ayat (1a)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas

waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu)

bulan:

a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat

(1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian

kelebihan pembayaran pajak;

b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat

(2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;

c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;

d. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan

Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi

Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan

Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,

dihitung sejak tanggal penerbitan;

e. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor

Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau

f. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan

Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan

pengadilan

sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan

Pembayaran Pajak.

Pasal 12

(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada

adanya surat ketetapan pajak. ***)

(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh

Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. ***)

(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang

menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,

Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. ***

Penjelasan Pasal 12

Ayat (1)

Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai

pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak

tersebut adalah:

a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;

b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang

dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah; atau

c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar

oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke

kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Berdasarkan Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk

menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang

disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada

Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat

Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib

Pajak.

Ayat (2)

Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan

membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat

Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan

Pajak.

Ayat (3)

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan

dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya

pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak

menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 13

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa

Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan

dalam hal sebagai berikut: ******)

a. terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;

b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak

disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

c. terdapat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak

seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);

d. terdapat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 yang

tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;

e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (4a);atau

f. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak

Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak

Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi

administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian

Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari

bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.*****)

(2a) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi

berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal

diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24

(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.*****)

(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15%

(lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya

penghitungan sanksi.*****)

(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administratif berupa:

a. bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 (satu) Tahun

Pajak;

b. bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut;

c. kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Pertambahan Nilai

Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang

dibayar; atau

d. kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang

dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor..

(3a) Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan

berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya

diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya. *****)

(3b) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b sebesar tarif bunga

per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak

atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan

diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24

(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. ******)

(3c) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 20% (dua puluh

persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan

sanksi. ******)

Ayat (3)

Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar

kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf

d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang

harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.

Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya,

yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi

berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang

dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar

100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%

(seratus persen).

(4) Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat

Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,

bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali

Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian

Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud. *****)

(5) Dihapus. *****)

(6) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Pasal 14

(1). Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: *****)

a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah

tulis dan/atau salah hitung;

c. Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga;

d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak

membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak;

e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak

mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat

(5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,

selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta

nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b

dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya

dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;

f. dihapus;

g. dihapus;

h. terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak,

dalam hal: *****)

1. diterbitkan keputusan;

2. diterima putusan; atau

3. ditemukan data atau informasi,

yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada

Wajib Pajak; atau

i. terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai

dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).

Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum

yang sama dengan surat ketetapan pajak. ***)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi

berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun

Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung

penuh 1 (satu) bulan. *****)

Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai

sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan

Pajak. ****

(5a). Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan

dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

*****)

(5b). Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya

pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. *****)

(5c). Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada

ayat (5b): *****)

a. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah

pajak yang masih harus dibayar bertambah;

b. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal

penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak tidak mengajukan

upaya banding; dan

c. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima)

tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak

dalam sidang terbuka untuk umum.

(6) Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan. ***)

Pasal 15

(1). Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau

berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan

data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah

dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan. ***)

(2). Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%

(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. ***)

(3). Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan

tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak

belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. ***

(5). Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 15

Ayat (1)

Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat

Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak

yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak

Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat

terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun

Pajak.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat

ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru

diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya

untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan

pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan

pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak

sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus

diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.

Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin

diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data

baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan

pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu,

setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu

12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk

data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru

termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum

terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.

Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala

sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang

oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat

Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan

yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap,

yaitu data yang:

a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta

lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau

b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak

mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap,

dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung

jumlah pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau

mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau

mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak

mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga

jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut

termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

Contoh:

1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan

Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas

Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya adalah

sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian

tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan

atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data

mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang

semula belum terungkap.

2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan

harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap

kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan

semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak

dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya

termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi

dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta

tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung

secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa

pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang

semula belum terungkap.

3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena

Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan

faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang

mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak

mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai

Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan

rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi

atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak

Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu

diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak

Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha

dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum

terungkap.

Ayat (2)

Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data

baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai

dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa

kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.

kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak

mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai

Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan

rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi

atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak

Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu

diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak

Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha

dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum

terungkap.

Ayat (2)

Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data

baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai

dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa

kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.

Pasal 16

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat

membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi

Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan

Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat

Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan

Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis,

kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan. ***)

(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal

surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan

pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***)

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur

Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang

diajukan tersebut dianggap dikabulkan. ***)

(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan

keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau

mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1). ***)

Penjelasan Pasal 16

Ayat (1)

Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas

pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang

bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau

kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.

Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan

permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang

dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:

a. surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat

Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

b. Surat Tagihan Pajak;

c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;

d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;

e. Surat Keputusan Pembetulan;

f. Surat Keputusan Keberatan;

g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;

h. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;

i. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau

j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau

kekeliruan sebagai akibat dari:

a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok

Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak,

dan tanggal jatuh tempo;

b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau

pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau

c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi,

kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan

dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.

Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau

menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.

Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan

ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak

dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.

Ayat (2)

Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh

Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak

permohonan diterima.

Ayat (3)

Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum

memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak

menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat

Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang

dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. ***)

(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti

kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila

terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan

hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih

besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. ***)

Penjelasan Pasal 17

Ayat (1)

Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:

a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang

terutang;

b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak

yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan

Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi

dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau

c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar

daripada jumlah pajak yang terutang.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan

atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang

bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak.

Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan

menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan

permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)

Pasal 17A

(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat

Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama

dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak

atau tidak ada pembayaran pajak. ***)

(2) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Penjelasan Pasal 17A

Ayat (1)

Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:

a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang

atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;

b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak

yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat

pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang SUSUNAN DALAM SATU NASKAH

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

42

terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang

dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau

c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama

dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada

pembayaran pajak

Pasal 17B

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan

pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan

surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan

diterima secara lengkap. ***)

(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak

yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang

perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan. ***)

(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih

Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut

berakhir. ***)

(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif

bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya

jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. *****)

(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1a): *****)

a. tidak dilanjutkan dengan penyidikan;

b. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak

pidana di bidang perpajakan; atau

c. dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan,

tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,

kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua

belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diberikan dalam hal

pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan: *****)

a. tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak dengan kemauan sendiri

mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (3); atau

b. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak

pidana di bidang perpajakan karena dilakukan penghentian penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B.

(6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberikan paling lama

24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(7) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua

belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****)

Penjelasan Pasal 17B

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah

Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas

permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan

Pajak Lebih Bayar.

Ayat (1a)

Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah

dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada

Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari

Wajib Pajak

Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan

kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak

sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak

memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu,

batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi

perpajakan.

Pasal 17C

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan

Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)

bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling

lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak

Pertambahan Nilai. ***)

(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:***)

a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan

pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran

pajak;

c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan

keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga)

tahun berturut-turut; dan

d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir

3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan

dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. ***)

(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah

melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***)

(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur

Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan

pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus

persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.***)

(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian

pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila: ***)

a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan;

b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak

tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;

c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak

tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau

d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

(7) Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Penjelasan Pasal 17C

Ayat (1)

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak

dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan

Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:

a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;

b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai

sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan

telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat

(6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat

Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan

pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan

konfirmasi kebenaran kredit pajak.

Ayat (2)

Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:

a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun

terakhir;

b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa

Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa

Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan

c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah

disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa

Masa Pajak berikutnya.

Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal

31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk

dalam pengertian tunggakan pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu

5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah

memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat

ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau

Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ayat (5)

Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka

apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan

sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan

pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai

berikut

Pasal 17D

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,

menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling

lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak

Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap

untuk Pajak Pertambahan Nilai. ***)

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian

pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah: ***)

a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan

jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;

c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai

dengan jumlah tertentu; atau

d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai

dengan jumlah tertentu.

(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan. ***)

(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah

melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***)

(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur

Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang

kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%

(seratus persen). ***

Ayat (4)

Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan

setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (5)

Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil

pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi

berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran

pajak.

Pasal 17E ***)

Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang

Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat

diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan

Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan

jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.

***)

(2) Dihapus. ***)

Pasal 19

(1) Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan

Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang

masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang

dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi

administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan

tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan

paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)

bulan. *****)

(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak

juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan

dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung

penuh 1 (satu) bulan. *****)

(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan

Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang

atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar tarif bunga per

bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari saat berakhirnya

batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya

kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat)

bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)

(4) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12

(dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****)

Pasal 20

(1) Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak,

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan

Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang

masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai

dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a)

dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika

dan sekaligus dilakukan apabila: ***)

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau

berniat untuk itu;

b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai

dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau

pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha

atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan

perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk

lainnya;

d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat

tanda-tanda kepailitan.

(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)

Penjelasan Pasal 20

Ayat (1)

Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh

tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran,

atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya

dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan

terhadap Penanggung Pajak.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan

penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak

tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak

dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

Pasal 20A ******)

(1) Menteri Keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan

penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra.

(2) Pelaksanaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang meliputi pemberian bantuan penagihan

pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra atau yurisdiksi

mitra.

(3) Pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian internasional

secara resiprokal.

(4) Negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian

internasional.

(5) Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perjanjian

bilateral atau multilateral yang mengatur kerja sama mengenai hal yang berkaitan

dengan bantuan penagihan pajak, meliputi:

a. persetujuan penghindaran pajak berganda;

b. konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan; atau

c. perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.

(6) Bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan

setelah diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra.

(7) Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan instrumen legal dari

negara mitra atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat:

a. nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan; dan

b. identitas penanggung pajak atas klaim pajak.

(8) Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan dasar penagihan pajak

yang dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis

dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra.

(9) Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra

ditampung dalam rekening pemerintah lainnya sebelum dikirimkan ke negara mitra atau

yurisdiksi mitra.

Penjelasan Pasal 20A

Ayat (1)

Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan melakukan kerja

sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra

atau yurisdiksi mitra.

Yang dimaksud dengan “bantuan penagihan pajak” adalah fasilitas bantuan penagihan

pajak yang terdapat di dalam perjanjian internasional yang dapat dimanfaatkan oleh

Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara

resiprokal untuk melakukan penagihan atas utang pajak yang diadministrasikan oleh

Direktur Jenderal Pajak atau otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.

Ayat (2)

Dalam pelaksanaan kerja sama bantuan penagihan pajak, Direktur Jenderal Pajak

melakukan kegiatan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau

yurisdiksi mitra. Pelaksanaan bantuan penagihan pajak tersebut meliputi pemberian

bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada otoritas

pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.

Ayat (3)

Penerapan prinsip resiprokal dalam ayat ini dimaksudkan Direktur Jenderal Pajak dapat

memberikan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi

mitra sepanjang pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tersebut juga

memberikan bantuan penagihan pajak yang setara kepada Pemerintah Indonesia.

Misalnya, tindakan penagihan pajak akan dilakukan sampai dengan memberitahukan

Surat Paksa dalam hal negara mitra atau yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan

penagihan pajak sampai dengan memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang

dapat dipersamakan dengan itu..

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” adalah perjanjian bilateral atau

multilateral yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional, yang menyatakan bahwa

Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan negara mitra atau yurisdiksi

mitra mengenai kerja sama atas hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak.

Termasuk dalam perjanjian internasional di antaranya konvensi tentang bantuan

administratif bersama di bidang perpajakan (convention on mutual administrative

assistance in tax matters).

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “nilai klaim pajak” adalah nilai uang yang dimintakan

bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memuat

antara lain nilai pokok pajak yang masih harus dibayar, sanksi administratif, dan

biaya penagihan yang dikenakan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra.

Sementara itu, biaya penagihan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak

dalam rangka pemberian bantuan penagihan pajak ditanggung oleh negara mitra

atau yurisdiksi mitra yang meminta bantuan penagihan pajak, dalam hal klaim

pajak dapat tertagih, dan berlaku sebaliknya. Biaya penagihan tersebut dicatat

sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara.

Dalam hal klaim pajak tidak dapat tertagih, biaya penagihan pajak yang sudah

dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak ditanggung oleh negara.

Klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau

yurisdiksi mitra tidak dalam sengketa (yang sudah inkrah) di negara mitra atau

yurisdiksi mitra.

Huruf b

Identitas penanggung pajak paling kurang memuat nama, nomor identitas, dan

alamat penanggung pajak.

Ayat (8)

Klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra merupakan dasar penagihan pajak

yang akan dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau

yurisdiksi mitra.

Nilai klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra kedudukannya dipersamakan

dengan utang pajak. Oleh karena itu, atas nilai klaim pajak tersebut dilakukan tindakan

penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak melalui kegiatan menegur atau

memperingatkan, menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan

penyitaan, menjual barang yang telah disita, mengusulkan pencegahan, dan

melaksanakan penyanderaan sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang

perpajakan.

Tindakan penagihan pajak dilakukan secara setara dengan tindakan yang dilakukan

oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra. Misalnya, tindakan penagihan pajak akan

dilakukan sampai dengan memberitahukan Surat Paksa dalam hal negara mitra atau

yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan penagihan pajak sampai dengan

memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu.

Tindakan penagihan pajak dilakukan terhadap penanggung pajak yang identitasnya

tercantum dalam klaim pajak.

Ayat (9)

Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra

ditampung dalam rekening pemerintah lainnya yang terpisah dari rekening kas negara

atau modul penerimaan negara sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi

mitra. Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra

bukan merupakan Penerimaan Negara sehingga tidak dicatat dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara karena tidak termasuk dalam ranah keuangan negara

Pasal 21

(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik

Penanggung Pajak. ***)

(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan

pajak. ***)

(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali

terhadap: ***)

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang

suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau

c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu

warisan.

(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator,

atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang

membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada

pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk

membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. ***)

(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal

diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan

Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan

jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. ***)

(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut: ***)

a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka

waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak

pemberitahuan Surat Paksa; atau

b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran

pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir

penundaan diberikan.

Penjelasan Pasal 21

Ayat (1)

Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan

mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan

dilelang di muka umum.

Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Pasal 22

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya

penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak

penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat

Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. ***)

(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

***)

a. diterbitkan Surat Paksa;

b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak

langsung;

c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau

d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penjelasan Pasal 22

Ayat (1)

Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum

kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat

ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan

pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak

5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat

Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Ayat (2)

Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) apabila:

a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada

Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan

tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak

dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.

b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan

permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal

jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak

diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan

tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan

pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal

penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.

d. Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,

daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal 23

(1) Dihapus. ***)

(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: ***)

a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau

Pengumuman Lelang;

b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang

ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau

d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam

penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Pasal 24

Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur

denga

n atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Pasal 25

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas

suatu:***)

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau

e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan

jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi

menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar

penghitungan. ***)

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat

ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka

waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. ***)

(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak

wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah

disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat

keberatan disampaikan. ***)

(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak

dipertimbangkan. ***)

(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal

Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat

keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti

penerimaan surat keberatan.***)

(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur

Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi

dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.

***)

(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang

belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu)

bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. ***)

(8) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). ***)

(9) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai

sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak

berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum

mengajukan keberatan. ******)

(10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa

denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak

dikenakan. ******)

Penjelasan Pasal 25

Ayat (1)

Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan

atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan

keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.

Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu

jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah

besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan

"suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis

pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.

Contoh:

Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009

harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua)

Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-

alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti

pemungutan, atau bukti pemotongan.

Ayat (3)

Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak

tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan

pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak

mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan

beserta alasannya.

Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh

Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang

waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang

oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (3a)

Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak

adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah

disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan

tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.

Ayat (4)

Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana

dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat

dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.

Ayat (5)

Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak

atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut

memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu

penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.

Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib

Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu

penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat

sebagai surat keberatan.

Ayat (6)

Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak

diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

62

atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak

berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.

Ayat (7)

Ayat ini mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan

pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat

Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan

sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana

diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada

saat pengajuan keberatan.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak

tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan

keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan

harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan

Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak

tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi

administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen).

Contoh:

Untuk Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan

jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib

Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas

koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak

dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00

(tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi

administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi administratif

sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 30% x (Rp750.000.000,00 - Rp200.000.000,00)

= Rp165.000.000,00

Pasal 26

Pasal 26

(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak

tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang

diajukan. ***)

(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan

tambahan atau penjelasan tertulis. ***)

(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan

seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang

masih harus dibayar. ***)

(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan

harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. ***)

(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan

Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan

tersebut dianggap dikabulkan. ***)

Penjelasan Pasal 26

Ayat (1)

Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian

dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan

batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling

lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut,

berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya

administrasi perpajakan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak

dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan

secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib

Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur

secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau

menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat

tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya

jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan

ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.

Pasal 26A

(1) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan. ***)

(2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir

memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. ***)

(3) Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

proses keberatan tetap dapat diselesaikan. ***)

(4) Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau

keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan,

selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak

dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud

tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya. ***)

Penjelasan Pasal 26A

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk

memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara

sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk

memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya

Pasal 27

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan

pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat

(1). ***)

(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan

peradilan tata usaha negara. ***)

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam

bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat

Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan

Keberatan tersebut. ***)

(4) Dihapus. ***)

(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding,

Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal yang menjadi

dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung

sejak permintaan tertulis diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. ******)

(5) Dihapus.***)

(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas

jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai

dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.***)

(5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).***)

(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak

termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan

ayat (1a) sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. ******)

(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai

sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak

berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar

sebelum mengajukan keberatan. ******)

(5e) Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan

peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau

dihentikan. ******)

(5f) Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih

harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%

(enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali

dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan

keberatan. ******)

(5g) Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5f)

diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan

Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. ******)

(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat

(2) diatur dengan undang-undang. ***)

Ayat (5d)

Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah

pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar

sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal

penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan

apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak

dikenai

sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak

berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar

sebelum mengajukan keberatan. ******)

(5e) Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan

peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau

dihentikan. ******)

(5f) Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih

harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%

(enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali

dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan

keberatan. ******)

(5g) Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5f)

diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan

Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. ******)

(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat

(2) diatur dengan undang-undang. ***)

Ayat (5a)

Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu

pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak

tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak

menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19

tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan

keberatan.

Ayat (5b)

Cukup jelas.

Ayat (5c)

Cukup jelas.

Ayat (5d)

Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah

pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar

sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal

penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan

apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak

dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen)

sebagaimana dimaksud pada ayat ini.

Contoh:

Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan

jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib

Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas

koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak

dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00

(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak

diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar

Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, baik sanksi

administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi

administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak

dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai

dengan ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000,00) =

Rp150.000.000,00

Ayat (5e)

Cukup jelas.

Ayat (5f)

Dalam hal terhadap Putusan Banding diajukan permohonan peninjauan kembali oleh

Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak dan berdasarkan Putusan Peninjauan

Kembali mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak

bertambah, terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar

60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali

dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Contoh 1:

Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) terhadap Wajib Pajak untuk

tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang

bayar dengan nilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam pembahasan akhir

hasil pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruhnya pajak yang masih harus

dibayar, sehingga tidak ada pembayaran atas SKPKB yang dilakukan oleh Wajib Pajak

sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak,

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang isinya menolak

seluruh keberatan Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian mengajukan permohonan

banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menerima seluruh banding Wajib

Pajak. Berdasarkan Putusan Banding tersebut, tidak terdapat pajak yang masih harus

dibayar oleh Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak kemudian mengajukan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan Kembali mengabulkan

permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak yang masih harus dibayar

Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini,

Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar Rp3.000.000.000,00 ditambah

sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini yaitu sebesar 60% x

Rp3.000.000.000,00 = Rp1.800.000.000,00.

Contoh 2:

Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) terhadap Wajib Pajak untuk

tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang

bayar dengan nilai Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam pembahasan

akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus

dibayar sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) sehingga Wajib Pajak

melakukan pembayaran atas SKPKB sejumlah yang disetujui dalam pembahasan akhir

hasil pemeriksaan sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan

oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan

yang isinya menolak seluruh keberatan Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian

mengajukan permohonan banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan

menerima sebagian banding Wajib Pajak dan menyatakan pajak yang kurang dibayar

menjadi sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Mengingat bahwa Wajib

Pajak telah melakukan pembayaran sebelum pengajuan keberatan yang jumlahnya

senilai dengan Putusan Banding, maka tidak terdapat pajak yang harus dilunasi

berdasarkan Putusan Banding oleh Wajib Pajak dan tidak dikenakan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5d). Direktur Jenderal Pajak kemudian

mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan

Kembali mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak

yang masih harus dibayar Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar

Rp3.000.000.000,00 - Rp600.000.000,00 = Rp2.400.000.000,00, ditambah sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini, yaitu sebesar 60% x

(Rp3.000.000.000,00 – Rp600.000.000,00) = Rp1.440.000.000,00.

Pasal 27B *****)

(1) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan

banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya

sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.*****)

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan

pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak

dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang

menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil. *****)

(3) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal permohonan pembetulan, permohonan

pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan

atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga

menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. *****)

(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan: *****)

a. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan

b. diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung

penuh 1 (satu) bulan.

(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai

dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada

tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****)

(6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal

penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil

sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,

atau Putusan Peninjauan Kembali. *****)

(7) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dihitung: *****)

a. sejak tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya

Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat

ketetapan pajak;

b. sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan

Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan,

surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak; atau

c. sejak tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal

diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau

pembatalan Surat Tagihan Pajak.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. *****)

Pasal 27C ******)

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama

untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan

persetujuan penghindaran pajak berganda..

(2) Prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

oleh:

a. Wajib Pajak dalam negeri;

b. Direktur Jenderal Pajak;

c. pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran

pajak berganda; atau

d. warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan

diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak

berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi.

(3) Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat diajukan bersamaan dengan permohonan

Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan:

a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau

c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b.

(4) Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) huruf b belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan

Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:

a. melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan

Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan

prosedur persetujuan bersama; atau

b. menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi

dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa

yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.

(5) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan

bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan

tentang persetujuan bersama.

(6) Surat keputusan tentang persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a)

atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Penjelasan Pasal 27C

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “prosedur persetujuan bersama” atau mutual agreement

procedure adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran

pajak berganda untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam

penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.

Ayat (4)

Agar prosedur persetujuan bersama dapat secara efektif mendorong Wajib Pajak untuk

mendapatkan keadilan dan mengeliminasi pemajakan berganda, perlu diatur

interaksinya dalam hal prosedur persetujuan bersama dilaksanakan bersamaan

dengan proses penyelesaian sengketa domestik, khususnya pengajuan banding dan

peninjauan kembali. Ayat ini menegaskan bahwa dalam hal putusan banding atau

peninjauan kembali telah diucapkan terlebih dahulu sebelum dicapainya persetujuan

bersama tetapi sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama tidak diputus

dalam putusan banding atau peninjauan kembali, perundingan dalam rangka prosedur

persetujuan bersama dilanjutkan.

Dalam hal putusan banding atau peninjauan kembali juga memutus sengketa yang

diajukan prosedur persetujuan bersama, perundingan tetap dapat dilanjutkan dengan

mendasarkan posisi runding Direktur Jenderal Pajak pada putusan banding atau

peninjauan kembali. Dalam hal persetujuan bersama tidak dapat dicapai dengan posisi

runding tersebut, Direktur Jenderal Pajak dapat mengusulkan untuk menghentikan

perundingan dengan memperhatikan ketentuan dan kaidah dalam negosiasi dan

perundingan internasional, khususnya terkait pelaksanaan prosedur persetujuan

bersama.

Pasal 28

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan

Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. ***)

(2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan

menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha

atau pekerjaan bebas. ***)

(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan

iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. ***)

(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan

menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam

bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. ***)

(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau

stelsel kas. ***)

(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat

persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. ***)

(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,

modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung

besarnya pajak yang terutang. ***)

(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat

diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. ***)

(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan

secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto

sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan

yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. ***)

(10) Dihapus. ***)

(11) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan

dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara

elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)

tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang

pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. ***)

(12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Ayat (5)

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan

dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip

taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:

a. stelsel pengakuan penghasilan;

b. tahun buku;

c. metode penilaian persediaan; atau

d. metode penyusutan dan amortisasi.

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti

penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi,

tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara

tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan

metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam

bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti

build operate and transfer (BOT) dan real estat.

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan

yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.

Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-

benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru

dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu

periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan

jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara

penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam

stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat

pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang,

jasa, dan biaya operasi lain dibayar.

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang

mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun

dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh

karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus

memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:

75

1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh

penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok

penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.

2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat

diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan

melalui penyusutan dan amortisasi.

3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga

dinamakan stelsel campuran.

Ayat (6)

Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama

dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan

penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan

metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih

dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak

sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan

yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan

tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat

asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau

perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu

sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan

aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

Contoh:

Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau

straight line method. Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode

penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau

declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada

Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan

menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari

perubahan tersebut.

Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah

penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus

mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan

tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun

kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di

dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.

Contoh:

a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.

b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun

Pajak 2009.

Ayat (7)

Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat

ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak

yang terutang.

Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat

dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga

jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah

harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah

pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah

pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar

daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

dan yang tidak dapat dikreditkan.

Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang

lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali

peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

Ayat (9)

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan

pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan

penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima

penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai

penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak

Penghasilan.

Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau

yang dikenai pajak yang bersifat final

 Ayat (11)

Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi

on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau

pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu

dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan

pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat

segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan

dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan

ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar

pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara

program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan,

kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

Pasal 29

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan

pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka

melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)

(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal

pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta

memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. ***)

(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib: ***)

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi

dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang

diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang

pajak;

b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu

dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau

c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.

(3a) Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan

sejak permintaan disampaikan. ***)

(3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan

bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut

dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan. ***)

(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta

keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk

merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan

untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***)

Penjelasan Pasal 29

Ayat (1)

Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban

perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:

a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau

b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib

Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi

satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun

yang lalu maupun untuk tahun berjalan.

Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi

pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan

Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan,

pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya

dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.

Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:

a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;

b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;

c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;

e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;

f. pencocokan data dan/atau alat keterangan;

g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;

h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;

i. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;

ij. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;

dan/atau

k. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda.

Ayat (2)

Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh

karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan

dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada

Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan

dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.

Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki

keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas

pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan,

dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan

berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Ayat (3)

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana

dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik

dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk

tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan

menggunakan proses pengolahan data secara elektronik (electronic data

processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan

melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa

untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain

yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan

bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.

Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan

kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan

tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk

tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau

pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.

Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan

dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa

keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.

Keterangan tertulis misalnya:

a. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;

b. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;

c. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau

d. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.

Keterangan lisan misalnya:

a. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;

b. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau

c. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.

Ayat (3a)

Cukup jelas.

Ayat (3b)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada

kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan

lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan

bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.

Pasal 29A***)

Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah

dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat

Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik

dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang: ***)

a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17B; atau

b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko

dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.

Penjelasan Pasal 29A

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang

mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan

pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan

Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat

penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum,

dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.

Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka

waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak

dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.

Pasal 30

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan

tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak

memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b. ***)

(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Penjelasan Pasal 30

Ayat (1)

Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi

ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan

kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang

perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat

disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau

sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat

atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran

pemeriksaan.

Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada

pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak

bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi

bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan

pemeriksaan.

Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang

dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang

kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu

memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak

dan/atau tidak bergerak.

Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau

mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik,

dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau

pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan,

dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.

Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran

kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan

masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 31

(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

***)

(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur

tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan

surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak

untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang

ditentukan. ***)

(3) Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan

kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan

surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak

kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam

batas waktu yang ditentukan. ***)

Penjelasan Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi

temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain,

mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada

Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir

hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak

hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

83

hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

BAB VII

KETENTUAN KHUSUS

Pasal 32

(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal: ***)

a. badan oleh pengurus;

b. badan yang dinyatakan palit oleh kurator;

c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan

pemberesan;

d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;

e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana

wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau

f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali

atau pengampunya.

(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau

secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat

membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam

kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak

yang terutang tersebut. ***)

(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus

untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. ***)

(3a) Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai

kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan

suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. ******)

(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan

dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. ***

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

84

Penjelasan Pasal 32

Ayat (1)

Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan

hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan

pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi,

dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib

Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka

tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.

Ayat (2)

Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini

bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang

terutang.

Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib

Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut

kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta

bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan

atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta

pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib

Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib

Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3a)

Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seorang kuasa yang

ditunjuk oleh Wajib

Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi

tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh

asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh

konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.

Pasal 32A ******)

(1) Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan,

penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat

langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.

(3) Penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

berlaku secara mutatis mutandis terhadap pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat

(2).

(4) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penyelenggara

sistem elektronik, selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap

penyelenggara sistem elektronik dimaksud dapat dikenai sanksi berupa pemutusan

akses setelah diberikan teguran.

(5) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan

pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan setelah diberikan teguran, terhadap pihak lain tidak

dikenai sanksi pemutusan akses.

(6) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan

pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan setelah dilakukan pemutusan akses, terhadap pihak

lain dilakukan normalisasi akses kembali.

(7) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan

informatika berwenang melakukan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) dan melakukan normalisasi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

berdasarkan permintaan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 32A

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan

pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan dan/atau pemungutan pajak

(withholding tax) melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak

lain.

Pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak merupakan

subjek pajak baik dalam negeri maupun luar negeri, yang terlibat langsung atau yang

memfasilitasi transaksi misalnya dengan menyediakan sarana atau media transaksi,

termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik.

Contoh 1:

PT ABC adalah Wajib Pajak dalam negeri yang menyediakan peer to peer lending

platform di Indonesia. Tuan A meminjamkan sejumlah dana kepada Tuan B melalui

platform tersebut. Dalam skema ini, meskipun PT ABC hanya sebagai perantara

transaksi antara Tuan A dan Tuan B dalam peer to peer lending platform, Menteri

Keuangan dapat menunjuk PT ABC sebagai pihak lain untuk melakukan pemotongan,

penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh

Tuan A dari Tuan B.

Contoh 2:

R Inc. merupakan perusahaan yang menyediakan situs untuk berbagi video yang

bekedudukan di luar Indonesia. Tuan C, seorang pencipta konten (content creator)

mendapatkan penghasilan dari R Inc.. Dalam transaksi ini, R Inc. merupakan pihak lain

yang dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan,

penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Tuan C.

Contoh 3:

PT DEF merupakan penyedia marketplace platform dalam negeri sebagai wadah

pedagang barang dan/atau penyedia jasa untuk memasang penawaran barang

dan/atau jasa. PT PQR merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

penawaran barang melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF. Tuan

Z melakukan pembelian barang yang ditawarkan oleh PT PQR melalui marketplace

platform yang disediakan oleh PT DEF. PT DEF dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan

sebagai pemungut PPN untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang

terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PT PQR kepada Tuan Z yang

dilakukan melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF

Pasal 34

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang

diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau

pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. ***)

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang

ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)

(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:

***)

a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang

pengadilan; atau

b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan

keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang

berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

(3) Demi kepentingan negara, dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka

mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum

yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain,

Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk

memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib

Pajak kepada pihak yang ditunjuk. ******

(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata,

atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara

Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk

memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada

padanya. ***)

(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama

tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara

pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. ***)

Penjelasan Pasal 34

Ayat (1)

Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang

perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut

masalah perpajakan, antara lain:

a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib

Pajak;

b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;

c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;

d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkenaan.

Ayat (2)

Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur

Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah

sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (2a)

Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang

bersifat umum tentang perpajakan.

Identitas Wajib Pajak meliputi:

1. nama Wajib Pajak;

2. Nomor Pokok Wajib Pajak;

3. alamat Wajib Pajak;

4. alamat kegiatan usaha;

5. merek usaha; dan/atau

6. kegiatan usaha Wajib Pajak.

a. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:

b. penerimaan pajak secara nasional;

c. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per

Kantor Pelayanan Pajak;

d. penerimaan pajak per jenis pajak;

e. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;

f. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;

g. register permohonan Wajib Pajak;

h. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau

i. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per

Kantor Pelayanan Pajak.

Ayat (3)

Kerja sama yang dimaksud dalam ayat ini merupakan pemberian atau pertukaran data

dan/atau informasi

antara Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga negara, instansi pemerintah, badan

hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak

lain untuk kepentingan negara dalam rangka menghimpun penerimaan negara maupun

penerimaan daerah atau menjalankan administrasi pemerintahan yang baik serta

mendukung kebijakan pemerintah.

Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama

Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang

diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau

tentang Wajib Pajak.

Surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kerja

sama untuk kepentingan negara dapat tidak mencantumkan nama Wajib Pajak tetapi

tetap mencantumkan jenis data sesuai yang tercantum dalam kerja sama.

Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal yang dipandang perlu oleh

Menteri Keuangan..

Ayat (4)

Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau

perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan,

Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada

pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas

permintaan tertulis hakim ketua sidang.

Ayat (5)

Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang

diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa

yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang

bersangkutan.

Pasal 35

(1) Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,

kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan

Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan

tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal

Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. ***)

(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban

merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali

untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri

Keuangan. ***)

(3) Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh

kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Penjelasan Pasal 35

Ayat (1)

Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas

permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik,

notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai

hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau

penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus

memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.

Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan

pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam

melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (2)

Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri

Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan

keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai

keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

Pasal 35A

(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data

dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak

yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). ***)

(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,

Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan

penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). ***)

Penjelasan Pasal 35A

Ayat (1)

Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai

konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan

dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan

pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi

dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat

menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau

kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data

transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan

dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar

Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian

data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Ayat (2)

Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh

instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk

kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan

informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu

peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib

Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi

dimaksud.

Pasal 36

(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: ***)

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan

kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau

bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil

pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau

2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

(1a) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya

dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. ***)

(1b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh

Wajib Pajak 1 (satu) kali. ***)

(1c) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal

permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan

atas permohonan yang diajukan. ***)

(1d) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur

Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. ***)

(1e) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan

keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau

mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1c). ***)

(2) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e)

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)

Penjelasan Pasal 36

Ayat (1)

Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib

Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib

Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah

ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib

Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat

ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan

keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat

keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.

Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan

pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau

atas permohonan Wajib Pajak.

Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal

Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan

hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan

hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan

Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil

pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak

tidak dapat dipertimbangkan.

Pasal 36A

(1) Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau

menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***)

(2) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar

kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***)

(3) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan

pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan

hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. ***)

(4) Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan

hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk

memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. ***)

(5) Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam

melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)

Penjelasan Pasal 36A

Ayat (1)

Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme

pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap

pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak

sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan

Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila

pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat

diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang

kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai

pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila

pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena

melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan

pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.

Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik

apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari

keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang

berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.

Pasal 36B ***)

(1) Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal

Pajak.

(2) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat

Jenderal Pajak.

(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik

pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang

ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 36C ***)

Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 36D ***)

(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.

(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 37

Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan

kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah. **)

Penjelasan Pasal 37

Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena

itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat

mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya

imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan

keadaan ekonomi keuangan.

Pasal 37A ****)

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus

dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tangal 28 Pebruari 2009, dapat

diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas

keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ****)

(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh

Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-

Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan

tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang

menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar

atau menyatakan lebih bayar. ***)

Pasal 38

orang yang karena kealpaannya: *****)

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau

melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, didenda paling sedikit 1

(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua)

kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling

singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 39

(1) Setiap orang yang dengan sengaja: ***)

a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap;

e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang

sebenarnya;

g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak

memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan

atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan

yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-

line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan

denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)

kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang

perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana

penjara yang dijatuhkan.

(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka

mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau

pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan

paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang

dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling

banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau

pengkreditan yang dilakukan.

Penjelasan Pasal 39

Ayat (1)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan

sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak

dalam penerimaan negara.

Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja

tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok

Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (2)

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi

mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)

tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang

dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2

(dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).

Ayat (3)

Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang

isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi

pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat

merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut

merupakan delik tersendiri.

Pasal 39A ***)

Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang

sebenarnya; atau

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)

tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti

pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling

banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Penjelasan Pasal 39A

Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat

penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti

pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan

atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti

pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat

mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa

penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang

sebenarnya dikenai sanksi pidana.

Pasal 40 ******)

Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dilakukan penuntutan setelah lampau waktu

10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya

Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 40

Penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun dari sejak

saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak

yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum

bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.

Yang dimaksud dengan “penuntutan” adalah penyampaian surat pemberitahuan dimulainya

penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan/atau kepada terlapor..

Pasal 41 ***)

(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama

1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang

menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling

banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Penjelasan Pasal 41

Ayat (1)

Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan

kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan

tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya

sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya

pengungkapan kerahasiaan tersebut.

Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena

kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak

yang dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut,

pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.

Ayat (2)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan

sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan

yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati

untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

Ayat (3)

Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi

seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.

Pasal 41A ***)

Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau

memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Penjelasan Pasal 41A

Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur

dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan

atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.

Pasal 41B ***)

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana

di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda

paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Penjelasan Pasal 41B

Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan

tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan

penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam

Pasal ini dikenai sanksi pidana.

Pasal 41C ***)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban

pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta

oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2)

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling

banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan

sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan

paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

Pasal 43 ***)

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi

wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan,

yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan

tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi

yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan

tindak pidana di bidang perpajakan.

Penjelasan Pasal 43

Ayat (1)

Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak

terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak,

Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang

menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang

membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal 43A ***)

(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan

berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan

tindak pidana di bidang perpajakan.

(1a) Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri

Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat perintah

pemeriksaan bukti permulaan.******)

(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut

petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa

internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti

permulaan. ******)

(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai

Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum

Tindak Pidana Korupsi.

(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 43A

Ayat (1)

Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak

akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain

yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti

Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.

Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan

penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai

hukum acara pidana.

Pasal 44

(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi

wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):: ******)

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan

berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau

laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau

badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak

pidana di bidang perpajakan;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan

dengan tindak pidana di bidang perpajakan;

d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di

bidang perpajakan;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti berupa pembukuan,

pencatatan, dan dokumen lain, serta barang bukti lain yang diduga terkait dengan

tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau melakukan penyitaan terhadap barang

bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau

tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas

orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

j. melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka

sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana,

termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri

setempat

k. menghentikan penyidikan; dan/atau

l. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan

dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik

pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ***)

(4) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. ***)

Penjelasan Pasal 44

Ayat (1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang

diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang

berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Huruf j

Penyitaan untuk tujuan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dapat

dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak, termasuk rekening

bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau

pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyitaan dilakukan oleh

penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana, antara lain:

1. harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat;

2. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan

penyitaan dan segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat

guna memperoleh persetujuannya.

Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang

turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan

tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemblokiran dilakukan dengan melakukan permintaan pemblokiran ke pihak

berwenang seperti bank, kantor pertanahan, kantor samsat dan lain-lain.

Pasal 44A

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan Penyidikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dalam hal: ******)

a. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 ayat (3);

b. tidak terdapat cukup bukti;

c. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau

d. demi hukum.

Penjelasan Pasal 44A

Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena

peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan

Pasal 44B

(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa

Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama

dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. ***)

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi: ******)

a. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38

ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali

jumlah kerugian pada pendapatan negara;

b. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39

ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali

jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau

c. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan

pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A

ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali

jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan

pajak, dan/atau bukti setoran pajak

(2a) Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat

melunasi: ******)

a. kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; atau

b. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan

pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

(2b) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), menjadi pertimbangan untuk

dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. ******)

(2c) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa

pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat

diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada

terdakwa. ******)

Penjelasan Pasal 44B

Ayat (1)

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa

Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara

pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.

Ayat (2)

Dalam hal proses penyidikan telah menetapkan tersangka yang lebih dari 1 (satu)

orang atau badan, maka setiap tersangka juga memiliki hak untuk mengajukan

permohonan penghentian penyidikan untuk dirinya sendiri.

Permohonan penghentian penyidikan dilakukan oleh tersangka setelah melunasi

jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak terutang yang tidak atau

kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan

dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi

yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda.

Contoh:

Penyidik melakukan penyidikan terhadap PT XYZ dengan kerugian pada pendapatan

negara sebesar Rp100.000.000,00. Terhadap kasus tersebut dilakukan penetapan

tersangka terhadap A dan B. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa A

menerima manfaat sebesar Rp15.000.000,00, sedangkan B menerima manfaat

sebesar Rp5.000.000,00. A dan B kemudian mengajukan permohonan penghentian

penyidikan dan meminta informasi kerugian pada pendapatan negara yang harus

mereka lunasi.

Berdasarkan manfaat yang diterima A dan B maka jumlah kerugian pada pendapatan

negara yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian penyidikan adalah

sebagai berikut:.

1. A harus melunasi sebesar (Rp.15.000.000,00/Rp20.000.000,00) x

Rp100.000.000,00 = Rp75.000.000,00

2. B harus melunasi sebesar (Rp.5.000.000,00/Rp20.000.000,00) x

Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00

Ayat (2a)

Mengingat penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan

pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan, kesempatan

terdakwa untuk melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti

pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah

restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang

dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi

administratif berupa denda diperluas sampai dengan tahap persidangan

Pasal 44C ******)

(1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat

digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.

(2) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta

kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana

orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda,

dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara

yang diputus

Pasal 44D ******)

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan

tanpa alasan yang sah, perkara tindak pidana di bidang perpajakan tetap dapat

diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.

(2) Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hadir pada sidang sebelum

putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat

yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang.

Pasal 44E ******)

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data

kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan

pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan

ayat (4) termasuk penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok

Wajib Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

b. pemberian dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20A ayat (2);

c. penampungan dan pengiriman hasil penagihan pajak atas klaim pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20A ayat (9);

d. pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27C ayat (1);

e. pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang

harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a);

f. penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang

telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal

32A ayat (2);

g. penetapan, penagihan, dan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A

ayat (3);

h. pemberian teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (4) serta

permintaan pemutusan dan normalisasi akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (7); dan

i. permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (1) dan pelunasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dan ayat (2a),