K U P
UU NO 6 TAHUN 1983 stdtd UU NO 7 TAHUN 2021
Pasal 1
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.***
Pasal 2
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. ***)
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. ***)
Pasal 3
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. ***)
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila: ***)
a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
Pasal 4
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. ***)
(2) Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. ***)
(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. ***)
(4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. ***)
(4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak. ***)
(4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
Pasal 5
Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 6
Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan. ***)
Pasal 7
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. ***
Pasal 8
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. ***)
(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. ***)
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****)
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: *****)
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d,
sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui
penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(3a) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak yang kurang dibayar. *****)
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat (2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima
persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan
sanksi. *****)
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: *****)
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d,
sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui
penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(3a) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak yang kurang dibayar. *****)
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan,
Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri
tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan ******)
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan ******)
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling
lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
***)
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak
Penghasilan disampaikan. ***)
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan
dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2c) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2a) dan ayat (2b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5%
(lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya
penghitungan sanksi. *****)
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterbitkan. ***)
(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama
menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. ***)
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran
yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata
cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah
pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya
Pasal 11
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan
ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. ***)
(1a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi,
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding
atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga
dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang
pajak tersebut. ***)
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau
sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. ***)
3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1
(satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan
pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(3a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang
berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****)
(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan
jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan
pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak
baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus
diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa
lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas
waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu)
bulan:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian
kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
d. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
dihitung sejak tanggal penerbitan;
e. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
f. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan
Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan
pengadilan
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak.
Pasal 12
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak. ***)
(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh
Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. ***)
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. ***
Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak
tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang
dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk
menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang
disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada
Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat
Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib
Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan
membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat
Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan
Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya
pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 13
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan
dalam hal sebagai berikut: ******)
a. terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;
b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c. terdapat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d. terdapat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 yang
tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4a);atau
f. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.*****)
(2a) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.*****)
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15%
(lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya
penghitungan sanksi.*****)
(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administratif berupa:
a. bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 (satu) Tahun
Pajak;
b. bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut;
c. kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang
dibayar; atau
d. kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor..
(3a) Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan
berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya
diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya. *****)
(3b) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b sebesar tarif bunga
per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. ******)
(3c) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 20% (dua puluh
persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan
sanksi. ******)
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf
d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang
harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya,
yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang
dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen).
(4) Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali
Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud. *****)
(5) Dihapus. *****)
(6) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Pasal 14
(1). Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: *****)
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta
nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f. dihapus;
g. dihapus;
h. terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak,
dalam hal: *****)
1. diterbitkan keputusan;
2. diterima putusan; atau
3. ditemukan data atau informasi,
yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada
Wajib Pajak; atau
i. terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai
dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan surat ketetapan pajak. ***)
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. *****)
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan
Pajak. ****
(5a). Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan
dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
*****)
(5b). Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. *****)
(5c). Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5b): *****)
a. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar bertambah;
b. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak tidak mengajukan
upaya banding; dan
c. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak
dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. ***)
Pasal 15
(1). Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan. ***)
(2). Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. ***)
(3). Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan
tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. ***
(5). Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat
Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak
yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat
ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru
diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya
untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan
pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan
pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak
sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus
diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin
diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data
baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu,
setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu
12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk
data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru
termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum
terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala
sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang
oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan
yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap,
yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta
lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap,
dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung
jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak
mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga
jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut
termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan
Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas
Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya adalah
sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian
tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan
atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data
mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan
harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap
kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan
semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak
dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya
termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi
dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta
tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung
secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa
pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang
semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena
Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan
faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak
mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai
Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan
rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi
atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu
diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak
Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum
terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data
baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai
dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak
mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai
Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan
rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi
atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu
diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak
Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum
terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data
baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai
dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Pasal 16
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. ***)
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan
pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***)
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan. ***)
(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau
mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). ***)
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas
pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang
bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau
kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan
permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang
dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Tagihan Pajak;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
e. Surat Keputusan Pembetulan;
f. Surat Keputusan Keberatan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
h. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
i. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau
kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok
Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak,
dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau
pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi,
kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau
menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak
dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh
Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. ***)
(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti
kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila
terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih
besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. ***)
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi
dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan
atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang
bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan
menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
Pasal 17A
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak
atau tidak ada pembayaran pajak. ***)
(2) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Penjelasan Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang
atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
42
terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang
dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada
pembayaran pajak
Pasal 17B
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan
surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan
diterima secara lengkap. ***)
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak
yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan. ***)
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut
berakhir. ***)
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif
bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. *****)
(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1a): *****)
a. tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
b. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak
pidana di bidang perpajakan; atau
c. dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan,
tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diberikan dalam hal
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan: *****)
a. tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3); atau
b. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak
pidana di bidang perpajakan karena dilakukan penghentian penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B.
(6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberikan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(7) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua
belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****)
Penjelasan Pasal 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah
Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah
dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada
Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu,
batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan.
Pasal 17C
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)
bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai. ***)
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:***)
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan
pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut; dan
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir
3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. ***)
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***)
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan
pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.***)
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila: ***)
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan;
b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7) Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Penjelasan Pasal 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan
telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat
(6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat
Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
konfirmasi kebenaran kredit pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun
terakhir;
b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa
Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa
Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah
disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Masa Pajak berikutnya.
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal
31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk
dalam pengertian tunggakan pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu
5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah
memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat
ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau
Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka
apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan
pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai
berikut
Pasal 17D
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
untuk Pajak Pertambahan Nilai. ***)
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah: ***)
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu.
(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. ***)
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***)
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang
kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen). ***
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran
pajak.
Pasal 17E ***)
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang
Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat
diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
***)
(2) Dihapus. ***)
Pasal 19
(1) Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang
dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan
tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan. *****)
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak
juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan
dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. *****)
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang
atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar tarif bunga per
bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari saat berakhirnya
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya
kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(4) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12
(dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****)
Pasal 20
(1) Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a)
dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika
dan sekaligus dilakukan apabila: ***)
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha
atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh
tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran,
atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya
dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan
terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan
penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak
tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak
dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Pasal 20A ******)
(1) Menteri Keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan
penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra.
(2) Pelaksanaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang meliputi pemberian bantuan penagihan
pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra atau yurisdiksi
mitra.
(3) Pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian internasional
secara resiprokal.
(4) Negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian
internasional.
(5) Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perjanjian
bilateral atau multilateral yang mengatur kerja sama mengenai hal yang berkaitan
dengan bantuan penagihan pajak, meliputi:
a. persetujuan penghindaran pajak berganda;
b. konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan; atau
c. perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
(6) Bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
setelah diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra.
(7) Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan instrumen legal dari
negara mitra atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat:
a. nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan; dan
b. identitas penanggung pajak atas klaim pajak.
(8) Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan dasar penagihan pajak
yang dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis
dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra.
(9) Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra
ditampung dalam rekening pemerintah lainnya sebelum dikirimkan ke negara mitra atau
yurisdiksi mitra.
Penjelasan Pasal 20A
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan melakukan kerja
sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra
atau yurisdiksi mitra.
Yang dimaksud dengan “bantuan penagihan pajak” adalah fasilitas bantuan penagihan
pajak yang terdapat di dalam perjanjian internasional yang dapat dimanfaatkan oleh
Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara
resiprokal untuk melakukan penagihan atas utang pajak yang diadministrasikan oleh
Direktur Jenderal Pajak atau otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Ayat (2)
Dalam pelaksanaan kerja sama bantuan penagihan pajak, Direktur Jenderal Pajak
melakukan kegiatan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau
yurisdiksi mitra. Pelaksanaan bantuan penagihan pajak tersebut meliputi pemberian
bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada otoritas
pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Ayat (3)
Penerapan prinsip resiprokal dalam ayat ini dimaksudkan Direktur Jenderal Pajak dapat
memberikan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi
mitra sepanjang pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tersebut juga
memberikan bantuan penagihan pajak yang setara kepada Pemerintah Indonesia.
Misalnya, tindakan penagihan pajak akan dilakukan sampai dengan memberitahukan
Surat Paksa dalam hal negara mitra atau yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan
penagihan pajak sampai dengan memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang
dapat dipersamakan dengan itu..
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” adalah perjanjian bilateral atau
multilateral yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional, yang menyatakan bahwa
Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan negara mitra atau yurisdiksi
mitra mengenai kerja sama atas hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak.
Termasuk dalam perjanjian internasional di antaranya konvensi tentang bantuan
administratif bersama di bidang perpajakan (convention on mutual administrative
assistance in tax matters).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “nilai klaim pajak” adalah nilai uang yang dimintakan
bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memuat
antara lain nilai pokok pajak yang masih harus dibayar, sanksi administratif, dan
biaya penagihan yang dikenakan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Sementara itu, biaya penagihan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dalam rangka pemberian bantuan penagihan pajak ditanggung oleh negara mitra
atau yurisdiksi mitra yang meminta bantuan penagihan pajak, dalam hal klaim
pajak dapat tertagih, dan berlaku sebaliknya. Biaya penagihan tersebut dicatat
sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Dalam hal klaim pajak tidak dapat tertagih, biaya penagihan pajak yang sudah
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak ditanggung oleh negara.
Klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau
yurisdiksi mitra tidak dalam sengketa (yang sudah inkrah) di negara mitra atau
yurisdiksi mitra.
Huruf b
Identitas penanggung pajak paling kurang memuat nama, nomor identitas, dan
alamat penanggung pajak.
Ayat (8)
Klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra merupakan dasar penagihan pajak
yang akan dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau
yurisdiksi mitra.
Nilai klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra kedudukannya dipersamakan
dengan utang pajak. Oleh karena itu, atas nilai klaim pajak tersebut dilakukan tindakan
penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak melalui kegiatan menegur atau
memperingatkan, menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan
penyitaan, menjual barang yang telah disita, mengusulkan pencegahan, dan
melaksanakan penyanderaan sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang
perpajakan.
Tindakan penagihan pajak dilakukan secara setara dengan tindakan yang dilakukan
oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra. Misalnya, tindakan penagihan pajak akan
dilakukan sampai dengan memberitahukan Surat Paksa dalam hal negara mitra atau
yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan penagihan pajak sampai dengan
memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu.
Tindakan penagihan pajak dilakukan terhadap penanggung pajak yang identitasnya
tercantum dalam klaim pajak.
Ayat (9)
Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra
ditampung dalam rekening pemerintah lainnya yang terpisah dari rekening kas negara
atau modul penerimaan negara sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi
mitra. Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra
bukan merupakan Penerimaan Negara sehingga tidak dicatat dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara karena tidak termasuk dalam ranah keuangan negara
Pasal 21
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak. ***)
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak. ***)
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap: ***)
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang
suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator,
atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang
membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada
pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. ***)
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. ***)
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut: ***)
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka
waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak
pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran
pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir
penundaan diberikan.
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan
dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Pasal 22
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. ***)
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
***)
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum
kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat
ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan
pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak
5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak
dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal
jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan
pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal
penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
d. Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 23
(1) Dihapus. ***)
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: ***)
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur
denga
n atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Pasal 25
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:***)
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
penghitungan. ***)
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. ***)
(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak
wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
keberatan disampaikan. ***)
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan. ***)
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal
Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat
keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti
penerimaan surat keberatan.***)
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi
dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
***)
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. ***)
(8) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). ***)
(9) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan. ******)
(10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak
dikenakan. ******)
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan
atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu
jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah
besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan
"suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis
pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009
harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua)
Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-
alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti
pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak
mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan
beserta alasannya.
Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang
waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak
adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah
disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan
tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat
dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut
memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib
Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat
sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak
diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
62
atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak
berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan
pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak
tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak
tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen).
Contoh:
Untuk Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan
jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib
Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas
koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak
dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 30% x (Rp750.000.000,00 - Rp200.000.000,00)
= Rp165.000.000,00
Pasal 26
Pasal 26
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan. ***)
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis. ***)
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang
masih harus dibayar. ***)
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan
harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. ***)
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan. ***)
Penjelasan Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian
dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan
batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut,
berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya
administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak
dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan
secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib
Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur
secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau
menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat
tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya
jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan
ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Pasal 26A
(1) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. ***)
(2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir
memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. ***)
(3) Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
proses keberatan tetap dapat diselesaikan. ***)
(4) Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan,
selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak
dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud
tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya. ***)
Penjelasan Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk
memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara
sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk
memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya
Pasal 27
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1). ***)
(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
peradilan tata usaha negara. ***)
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat
Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan
Keberatan tersebut. ***)
(4) Dihapus. ***)
(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding,
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal yang menjadi
dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak permintaan tertulis diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. ******)
(5) Dihapus.***)
(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas
jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.***)
(5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).***)
(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak
termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan
ayat (1a) sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. ******)
(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan. ******)
(5e) Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan
peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau
dihentikan. ******)
(5f) Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%
(enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan. ******)
(5g) Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5f)
diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan
Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. ******)
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat
(2) diatur dengan undang-undang. ***)
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak
dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan. ******)
(5e) Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan
peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau
dihentikan. ******)
(5f) Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%
(enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan. ******)
(5g) Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5f)
diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan
Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. ******)
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat
(2) diatur dengan undang-undang. ***)
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu
pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak
menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19
tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen)
sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan
jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib
Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas
koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak
dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak
diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar
Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, baik sanksi
administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi
administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak
dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai
dengan ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000,00) =
Rp150.000.000,00
Ayat (5e)
Cukup jelas.
Ayat (5f)
Dalam hal terhadap Putusan Banding diajukan permohonan peninjauan kembali oleh
Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak dan berdasarkan Putusan Peninjauan
Kembali mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak
bertambah, terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali
dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Contoh 1:
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) terhadap Wajib Pajak untuk
tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang
bayar dengan nilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruhnya pajak yang masih harus
dibayar, sehingga tidak ada pembayaran atas SKPKB yang dilakukan oleh Wajib Pajak
sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang isinya menolak
seluruh keberatan Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian mengajukan permohonan
banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menerima seluruh banding Wajib
Pajak. Berdasarkan Putusan Banding tersebut, tidak terdapat pajak yang masih harus
dibayar oleh Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak kemudian mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan Kembali mengabulkan
permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak yang masih harus dibayar
Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini,
Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar Rp3.000.000.000,00 ditambah
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini yaitu sebesar 60% x
Rp3.000.000.000,00 = Rp1.800.000.000,00.
Contoh 2:
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) terhadap Wajib Pajak untuk
tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang
bayar dengan nilai Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) sehingga Wajib Pajak
melakukan pembayaran atas SKPKB sejumlah yang disetujui dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan
oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan
yang isinya menolak seluruh keberatan Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian
mengajukan permohonan banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan
menerima sebagian banding Wajib Pajak dan menyatakan pajak yang kurang dibayar
menjadi sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Mengingat bahwa Wajib
Pajak telah melakukan pembayaran sebelum pengajuan keberatan yang jumlahnya
senilai dengan Putusan Banding, maka tidak terdapat pajak yang harus dilunasi
berdasarkan Putusan Banding oleh Wajib Pajak dan tidak dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5d). Direktur Jenderal Pajak kemudian
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan
Kembali mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak
yang masih harus dibayar Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar
Rp3.000.000.000,00 - Rp600.000.000,00 = Rp2.400.000.000,00, ditambah sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini, yaitu sebesar 60% x
(Rp3.000.000.000,00 – Rp600.000.000,00) = Rp1.440.000.000,00.
Pasal 27B *****)
(1) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan
banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya
sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.*****)
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan
pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang
menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil. *****)
(3) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal permohonan pembetulan, permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan
atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. *****)
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan: *****)
a. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
b. diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai
dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada
tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****)
(6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil
sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali. *****)
(7) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dihitung: *****)
a. sejak tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya
Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak;
b. sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan,
surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak; atau
c. sejak tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau
pembatalan Surat Tagihan Pajak.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. *****)
Pasal 27C ******)
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama
untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan
persetujuan penghindaran pajak berganda..
(2) Prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
oleh:
a. Wajib Pajak dalam negeri;
b. Direktur Jenderal Pajak;
c. pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran
pajak berganda; atau
d. warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan
diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak
berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi.
(3) Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat diajukan bersamaan dengan permohonan
Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan:
a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau
c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
a. melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan
prosedur persetujuan bersama; atau
b. menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi
dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa
yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.
(5) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan
tentang persetujuan bersama.
(6) Surat keputusan tentang persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a)
atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Penjelasan Pasal 27C
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prosedur persetujuan bersama” atau mutual agreement
procedure adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran
pajak berganda untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam
penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Ayat (4)
Agar prosedur persetujuan bersama dapat secara efektif mendorong Wajib Pajak untuk
mendapatkan keadilan dan mengeliminasi pemajakan berganda, perlu diatur
interaksinya dalam hal prosedur persetujuan bersama dilaksanakan bersamaan
dengan proses penyelesaian sengketa domestik, khususnya pengajuan banding dan
peninjauan kembali. Ayat ini menegaskan bahwa dalam hal putusan banding atau
peninjauan kembali telah diucapkan terlebih dahulu sebelum dicapainya persetujuan
bersama tetapi sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama tidak diputus
dalam putusan banding atau peninjauan kembali, perundingan dalam rangka prosedur
persetujuan bersama dilanjutkan.
Dalam hal putusan banding atau peninjauan kembali juga memutus sengketa yang
diajukan prosedur persetujuan bersama, perundingan tetap dapat dilanjutkan dengan
mendasarkan posisi runding Direktur Jenderal Pajak pada putusan banding atau
peninjauan kembali. Dalam hal persetujuan bersama tidak dapat dicapai dengan posisi
runding tersebut, Direktur Jenderal Pajak dapat mengusulkan untuk menghentikan
perundingan dengan memperhatikan ketentuan dan kaidah dalam negosiasi dan
perundingan internasional, khususnya terkait pelaksanaan prosedur persetujuan
bersama.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. ***)
(2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas. ***)
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. ***)
(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. ***)
(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. ***)
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. ***)
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang. ***)
(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. ***)
(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan
secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. ***)
(10) Dihapus. ***)
(11) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang
pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. ***)
(12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan
dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip
taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi,
tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara
tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan
metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam
bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti
build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan
yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-
benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru
dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu
periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan
jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara
penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam
stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat
pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang,
jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang
mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun
dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh
karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus
memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
75
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok
penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan
melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga
dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama
dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan
penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan
metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih
dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan
yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat
asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau
perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu
sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau
straight line method. Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode
penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau
declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada
Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan
menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari
perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah
penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus
mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di
dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun
Pajak 2009.
Ayat (7)
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat
ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak
yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat
dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga
jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah
harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah
pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan
penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima
penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai
penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan.
Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau
yang dikenai pajak yang bersifat final
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi
on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu
dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan
pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat
segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara
program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan,
kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Pasal 29
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. ***)
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib: ***)
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang
pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3a) Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan
sejak permintaan disampaikan. ***)
(3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut
dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. ***)
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan
untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***)
Penjelasan Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib
Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi
satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun
yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi
pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan,
pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya
dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
f. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
ij. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;
dan/atau
k. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh
karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan
dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada
Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki
keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas
pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan,
dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan
berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana
dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik
dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan
menggunakan proses pengolahan data secara elektronik (electronic data
processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan
melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa
untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain
yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan
tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk
tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau
pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan
dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa
keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
b. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
c. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
d. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
Keterangan lisan misalnya:
a. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
b. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
c. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada
kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan
lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan
bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Pasal 29A***)
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah
dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang: ***)
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B; atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
Penjelasan Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang
mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan
pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan
Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat
penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum,
dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka
waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak
dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.
Pasal 30
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan
tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b. ***)
(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Penjelasan Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi
ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau
sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat
atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada
pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak
bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan
pemeriksaan.
Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang
dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu
memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak
dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau
mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik,
dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan,
dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran
kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
***)
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan. ***)
(3) Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan
kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak
kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam
batas waktu yang ditentukan. ***)
Penjelasan Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi
temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain,
mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada
Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir
hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak
hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
83
hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal: ***)
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan palit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali
atau pengampunya.
(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
yang terutang tersebut. ***)
(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. ***)
(3a) Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai
kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan
suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. ******)
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan
dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. ***
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
84
Penjelasan Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan
pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi,
dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib
Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka
tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini
bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang.
Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib
Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut
kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta
bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan
atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta
pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib
Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seorang kuasa yang
ditunjuk oleh Wajib
Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi
tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh
asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh
konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
Pasal 32A ******)
(1) Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan,
penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat
langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.
(3) Penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
berlaku secara mutatis mutandis terhadap pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penyelenggara
sistem elektronik, selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap
penyelenggara sistem elektronik dimaksud dapat dikenai sanksi berupa pemutusan
akses setelah diberikan teguran.
(5) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan
pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan setelah diberikan teguran, terhadap pihak lain tidak
dikenai sanksi pemutusan akses.
(6) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan
pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan setelah dilakukan pemutusan akses, terhadap pihak
lain dilakukan normalisasi akses kembali.
(7) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan
informatika berwenang melakukan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan melakukan normalisasi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
berdasarkan permintaan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 32A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan
pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan dan/atau pemungutan pajak
(withholding tax) melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak
lain.
Pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak merupakan
subjek pajak baik dalam negeri maupun luar negeri, yang terlibat langsung atau yang
memfasilitasi transaksi misalnya dengan menyediakan sarana atau media transaksi,
termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Contoh 1:
PT ABC adalah Wajib Pajak dalam negeri yang menyediakan peer to peer lending
platform di Indonesia. Tuan A meminjamkan sejumlah dana kepada Tuan B melalui
platform tersebut. Dalam skema ini, meskipun PT ABC hanya sebagai perantara
transaksi antara Tuan A dan Tuan B dalam peer to peer lending platform, Menteri
Keuangan dapat menunjuk PT ABC sebagai pihak lain untuk melakukan pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh
Tuan A dari Tuan B.
Contoh 2:
R Inc. merupakan perusahaan yang menyediakan situs untuk berbagi video yang
bekedudukan di luar Indonesia. Tuan C, seorang pencipta konten (content creator)
mendapatkan penghasilan dari R Inc.. Dalam transaksi ini, R Inc. merupakan pihak lain
yang dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Tuan C.
Contoh 3:
PT DEF merupakan penyedia marketplace platform dalam negeri sebagai wadah
pedagang barang dan/atau penyedia jasa untuk memasang penawaran barang
dan/atau jasa. PT PQR merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penawaran barang melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF. Tuan
Z melakukan pembelian barang yang ditawarkan oleh PT PQR melalui marketplace
platform yang disediakan oleh PT DEF. PT DEF dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan
sebagai pemungut PPN untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang
terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PT PQR kepada Tuan Z yang
dilakukan melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF
Pasal 34
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. ***)
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
***)
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan; atau
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang
berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
(3) Demi kepentingan negara, dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka
mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum
yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain,
Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib
Pajak kepada pihak yang ditunjuk. ******
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata,
atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada
padanya. ***)
(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama
tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara
pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. ***)
Penjelasan Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut
masalah perpajakan, antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah
sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang
bersifat umum tentang perpajakan.
Identitas Wajib Pajak meliputi:
1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.
a. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
b. penerimaan pajak secara nasional;
c. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per
Kantor Pelayanan Pajak;
d. penerimaan pajak per jenis pajak;
e. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
f. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
g. register permohonan Wajib Pajak;
h. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
i. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per
Kantor Pelayanan Pajak.
Ayat (3)
Kerja sama yang dimaksud dalam ayat ini merupakan pemberian atau pertukaran data
dan/atau informasi
antara Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga negara, instansi pemerintah, badan
hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak
lain untuk kepentingan negara dalam rangka menghimpun penerimaan negara maupun
penerimaan daerah atau menjalankan administrasi pemerintahan yang baik serta
mendukung kebijakan pemerintah.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama
Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang
diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak.
Surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kerja
sama untuk kepentingan negara dapat tidak mencantumkan nama Wajib Pajak tetapi
tetap mencantumkan jenis data sesuai yang tercantum dalam kerja sama.
Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal yang dipandang perlu oleh
Menteri Keuangan..
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan,
Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas
permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang
diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa
yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang
bersangkutan.
Pasal 35
(1) Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal
Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. ***)
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban
merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali
untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri
Keuangan. ***)
(3) Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh
kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Penjelasan Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas
permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai
hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau
penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus
memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan
pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Pasal 35A
(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). ***)
(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan
penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). ***)
Penjelasan Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai
konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan
dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan
pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi
dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat
menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau
kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan
dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar
Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian
data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk
kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu
peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi
dimaksud.
Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: ***)
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(1a) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya
dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. ***)
(1b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh
Wajib Pajak 1 (satu) kali. ***)
(1c) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan
atas permohonan yang diajukan. ***)
(1d) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. ***)
(1e) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau
mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1c). ***)
(2) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Penjelasan Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib
Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib
Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib
Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan
keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan
pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau
atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan
hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan
Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak
tidak dapat dipertimbangkan.
Pasal 36A
(1) Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau
menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***)
(2) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar
kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***)
(3) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. ***)
(4) Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. ***)
(5) Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. ***)
Penjelasan Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme
pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap
pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak
sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan
Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila
pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat
diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai
pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila
pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan
pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik
apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari
keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang
berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Pasal 36B ***)
(1) Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal
Pajak.
(2) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat
Jenderal Pajak.
(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik
pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36C ***)
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36D ***)
(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 37
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah. **)
Penjelasan Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena
itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya
imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan
keadaan ekonomi keuangan.
Pasal 37A ****)
(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus
dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tangal 28 Pebruari 2009, dapat
diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ****)
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-
Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan
tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang
menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar
atau menyatakan lebih bayar. ***)
Pasal 38
orang yang karena kealpaannya: *****)
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, didenda paling sedikit 1
(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling
singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 39
(1) Setiap orang yang dengan sengaja: ***)
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-
line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana
penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan.
Penjelasan Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan
sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak
dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja
tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi
mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2
(dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi
pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat
merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut
merupakan delik tersendiri.
Pasal 39A ***)
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Penjelasan Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat
penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti
pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan
atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti
pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat
mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa
penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Pasal 40 ******)
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dilakukan penuntutan setelah lampau waktu
10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya
Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40
Penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun dari sejak
saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum
bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.
Yang dimaksud dengan “penuntutan” adalah penyampaian surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan/atau kepada terlapor..
Pasal 41 ***)
(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Penjelasan Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan
kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan
tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya
sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya
pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena
kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak
yang dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut,
pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan
sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan
yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati
untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi
seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Pasal 41A ***)
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Pasal 41B ***)
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan
penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini dikenai sanksi pidana.
Pasal 41C ***)
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban
pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan
sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 43 ***)
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi
wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan,
yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi
yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Penjelasan Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak
terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak,
Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 43A ***)
(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan
berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
(1a) Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat perintah
pemeriksaan bukti permulaan.******)
(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut
petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa
internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti
permulaan. ******)
(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai
Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum
Tindak Pidana Korupsi.
(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 43A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak
akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain
yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti
Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan
penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
hukum acara pidana.
Pasal 44
(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):: ******)
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti berupa pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta barang bukti lain yang diduga terkait dengan
tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau melakukan penyitaan terhadap barang
bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka
sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana,
termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri
setempat
k. menghentikan penyidikan; dan/atau
l. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ***)
(4) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. ***)
Penjelasan Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang
berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Huruf j
Penyitaan untuk tujuan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dapat
dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak, termasuk rekening
bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau
pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyitaan dilakukan oleh
penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana, antara lain:
1. harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat;
2. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan
penyitaan dan segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemblokiran dilakukan dengan melakukan permintaan pemblokiran ke pihak
berwenang seperti bank, kantor pertanahan, kantor samsat dan lain-lain.
Pasal 44A
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan Penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dalam hal: ******)
a. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (3);
b. tidak terdapat cukup bukti;
c. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
d. demi hukum.
Penjelasan Pasal 44A
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena
peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan
Pasal 44B
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa
Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. ***)
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi: ******)
a. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali
jumlah kerugian pada pendapatan negara;
b. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali
jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
c. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A
ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak
(2a) Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat
melunasi: ******)
a. kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; atau
b. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(2b) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), menjadi pertimbangan untuk
dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. ******)
(2c) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa
pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada
terdakwa. ******)
Penjelasan Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa
Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara
pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Dalam hal proses penyidikan telah menetapkan tersangka yang lebih dari 1 (satu)
orang atau badan, maka setiap tersangka juga memiliki hak untuk mengajukan
permohonan penghentian penyidikan untuk dirinya sendiri.
Permohonan penghentian penyidikan dilakukan oleh tersangka setelah melunasi
jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi
yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda.
Contoh:
Penyidik melakukan penyidikan terhadap PT XYZ dengan kerugian pada pendapatan
negara sebesar Rp100.000.000,00. Terhadap kasus tersebut dilakukan penetapan
tersangka terhadap A dan B. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa A
menerima manfaat sebesar Rp15.000.000,00, sedangkan B menerima manfaat
sebesar Rp5.000.000,00. A dan B kemudian mengajukan permohonan penghentian
penyidikan dan meminta informasi kerugian pada pendapatan negara yang harus
mereka lunasi.
Berdasarkan manfaat yang diterima A dan B maka jumlah kerugian pada pendapatan
negara yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian penyidikan adalah
sebagai berikut:.
1. A harus melunasi sebesar (Rp.15.000.000,00/Rp20.000.000,00) x
Rp100.000.000,00 = Rp75.000.000,00
2. B harus melunasi sebesar (Rp.5.000.000,00/Rp20.000.000,00) x
Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00
Ayat (2a)
Mengingat penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan
pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan, kesempatan
terdakwa untuk melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang
dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi
administratif berupa denda diperluas sampai dengan tahap persidangan
Pasal 44C ******)
(1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat
digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.
(2) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta
kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana
orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda,
dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara
yang diputus
Pasal 44D ******)
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, perkara tindak pidana di bidang perpajakan tetap dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hadir pada sidang sebelum
putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat
yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang.
Pasal 44E ******)
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data
kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan
pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) termasuk penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok
Wajib Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
b. pemberian dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20A ayat (2);
c. penampungan dan pengiriman hasil penagihan pajak atas klaim pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20A ayat (9);
d. pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27C ayat (1);
e. pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang
harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a);
f. penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang
telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32A ayat (2);
g. penetapan, penagihan, dan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A
ayat (3);
h. pemberian teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (4) serta
permintaan pemutusan dan normalisasi akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (7); dan
i. permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (1) dan pelunasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dan ayat (2a),