TRANSFER PRICING

RELATED LEGAL

Ketentuan terkait Transfer Pricing  antara lain:

Literacy:


ARM'S LENGTH PRINCIPLE: PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA

Transaksi para pihak dalam hubungan istimewa sama dengan transaksi para pihak independen

HUBUNGAN ISTIMEWA

TP DOC

PMK 213 tahun 2016 mewajibkan dokumen yang wajib disimpan terkait transaksi dalam hubungan istimewa adalah sebagai berikut:

COMPARABILITY ANALYSIS

INDUSTRIAL ANALYSIS

AFFILIATED TRANSACTION ANALYSIS

SUPPLY CHAIN ANALYSIS


FUNCTION, ASSETS & RISKS

FUNCTION


ASSETS:


RISKS


RATIO



PROFIT LEVEL INDICATOR (PLI)

Hal 342  Transfer Pricing by Dany Darussalam

TRANSAKSI DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA

TP METHOD

Penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh, untuk mencegah penhindaran pajak dalam transaksi antar pihak dalam hubungan istimewa, untuk menghitung besarnya penghasilan atau besarnya biaya yang wajar, dapat digunakan metode sebagai berikut:

MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE

Pasal 27C UU KUP

Prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. 

Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.

 Prosedur persetujuan bersama dapat diajukan oleh: 

a. Wajib Pajak dalam negeri; 

b. Direktur Jenderal Pajak; 

c. pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda; atau 

d. warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi. 

Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan: a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; 

b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau 

c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b. 

Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak: 

a. melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama; atau 

b. menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama. 

Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan bersama dengan menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan bersama. Surat keputusan tentang persetujuan bersama termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a) atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. 


ADVANCE PRICING AGREEMENT

Pasal 18 ayat (3a) UU PPH

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. ***) 

Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. 

TAX TREATY

Pasal 32A UU PPH 

Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka: 

a. penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak; 

b. pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba; 

c. pertukaran informasi perpajakan; 

d. bantuan penagihan pajak; dan 

e. kerja sama perpajakan lainnya. ******) 

OECD GUIDELINES FOR MULTINATIONAL ENTERPRISES 2022

1.                   The Arm’s Length Principle

a.       Introduction

b.       Statement of the arm’s length principle

c.       A non-arm’s length approach: Global formulary apportionment

d.       Guidance for applying the arm’s length principle

2.                   Transfer Pricing Methods

a.       Selection of the Transfer Pricing Method

1)      Selection of the most appropriate transfer pricing method to the circumstances of the case

2)      Use of more then one method

b.       Traditional Transaction Methods

1)      Introduction

2)      Comparable uncontrolled price method

3)      Resale price method

4)      Cost plus method

c.       Transactional Profit Methods

1)      Introduction

2)      Transactional net margin method

3)      Transactional profit split method

4)      Conclusions on transactional profit methods

3.                   Comparable analysis

a.       Performing a comparability analysis

b.       Timing issues in comparability

c.       Compliance issues

4.                   Administrative approaches to avoiding and resolving transfer pricing disputes

a.       Introduction

b.       Transfer Pricing Compliance Practices

c.       Corresponding adjustments and the mutual agreement procedure: Articles 9 and 25 of the OECD Model Tax Convention

d.       Simultaneous tax examinations

e.       Safe Harbours

f.        Advance Pricing Arrangements

g.       Arbitration

5.                   Documentation

a.       Introduction

b.       Objectives of Transfer Pricing Documentation Requirements

c.       A Three-Tiered Approach to Transfer Pricing Documentation

d.       Compliance Issues

e.       Implementation

6.                   Special consideration for intagibles

a.       Identifying Intagibles

b.       Ownership of Intagibles and Transactions Involving the Development, enhancement, maintenance, protection and exploitation of intangibles

c.       Transactions involving the use of transfer intagibles

d.       Supplemental guidance for determining arm’s length conditions in cases involving intagibles

7.                   Special consideration for intra-group services

a.       Introduction

b.       Main issues

c.       Some examples of intra-group services

d.       Low valu-adding intra-group services

8.                   Cost contribution arrangements

a.       Introduction

b.       Concept of a CCA

c.       Applying the arm’s length principle

d.       CCA Entry, withdrawal or termination

e.       Recommendations for structuring and documenting CCAs

9.                   Transfer pricing aspects of business restructurings

a.       Introduction

b.       Arm’s Lentgh Compensation for the restructuring itself

1)      Introduction

2)      Understanding the restructuring itself

3)      Recognition of the accurately delineated transactions that comprise the business restructuring

4)      Reallocation of profit potential as a result of a business restructuring

5)      Transfer of something of value (e.g. an asset or an ongoing concern)

6)      Indemmification of the restructured entity for the termination or substantial renegotiation of existing arrangements

c.       Remuneration of post-restructuring controlled transactions

1)      Business restructurings versus structuring

2)      Application to business restructuring situations: selection and application of a transfer pricing method for the post-restructuring controlled transactions

3)      Realtionship between compensation for the restructuring  and post-restructuring remuneration

4)      Comparing the pre-and post-restructuring situations

5)      Location saving

10.               Transfer Pricing aspects of financial transactions

a.       Introduction

b.       Interaction with the guidance in Section

c.       Treasury function

d.       Financial guarantees

e.       Captive insurance


ABOUT TRANSFER PRICING



FqQ dari Kemenkeu.go.id

Umum


a. Pajak Internasional

Cakupan dari Pajak Internasional adalah:

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

 

 

b. Pajak Berganda


Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut:

 

 

 

Pajak berganda internasional akan timbul karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Pengenaan pajak berganda internasional timbul karena tiga konflik berikut:

 

 

c. Tentang P3B


Sesuai dengan UU PPh, Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:

Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, Pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.
 

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

 

 

Tidak, karena P3B adalah suatu ketentuan yang dipergunakan untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas transaksi lintas batas yang terjadi antar negara.

 

  

• Setiap negara bebas untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, pada umumnya, sistem perpajakan internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili (the residence principle) dan prinsip sumber (the territoriality principle).


• Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Sementara, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial.


• Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak.


• Negara yang menganut sistem pajak worldwide akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negaranya.

 

 

 

• P3B merupakan ketentuan lex-spesialis. Oleh karenanya, apabila terjadi konflik antara ketentuan P3B dan ketentuan domestik atas suatu transaksi internasional, ketentuan P3B lebih diutamakan.


• Berdasarkan PMK-202/PMK.0102017 s.t.d.t.d PMK-236/PMK.010/2020, dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.

• Penjelasan Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan


• Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.010/2017 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020

 

 

• Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan perjanjian.


• Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih besar, maka tarif yang digunakan adalah yang sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.

 

 

d. Tax Avoidance

• Treaty shopping adalah suatu praktik yang dilakukan oleh Wajib Pajak suatu negara dengan menggunakan suatu skema tertentu, untuk mendapatkan manfaat/fasilitas yang diberikan oleh tax treaty yang menggunakan pasal-pasal dalam tax treaty yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.

• Contoh  transaksi yang dicurigai termasuk dalam skema penyalahgunaan P3B, antara lain:

 Apakah yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle?

• IBFD International Tax Glossary (2015) mendefinisikan special purpose vehicle adalah entitas yang dibentuk untuk berpartisipasi dalam pengaturan keuangan terstruktur atau transaksi investasi yang biasanya sebagai bagian dari rencana pengurangan atau penghindaran pajak.

• OECD Glossary Statistical Terms mendefinisikan special purpose entities adalah entitas yang secara umum terorganisir atau didirikan dalam perekonomian selain perekonomian di mana perusahaan induk berada.

• Bentuk dari special purpose company antara lain; conduit company, letter box company, money box company, paper company, atau shell company.

• Ketentuan mengenai special purpose company dalam aturan domestik diatur dalam:

• Definisi SPV:

• Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 18 ayat (3b) dan
b. Pasal 18 ayat (3c)

• Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3(c) Undang Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib Pajak Luar Negeri;

• Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor  142/PMK.01/2016

 

Conduit Company

• Secara umum, berdasarkan Pasal 2 PER-25/PJ/2018 untuk dapat memanfaatkan tarif P3B untuk penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti, beneficial owner dari penghasilan tersebutlah yang harus merupakan residen dari negara mitra P3B.

• Hal ini juga dapat diterapkan dalam kasus yang melibatkan perusahaan conduit, di mana terjadi penyalahgunaan P3B sehingga manfaat dalam P3B tidak dapat diberikan.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

 

2. Ketentuan Domestik



a. Pasal 26 UU PPh


• Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

• Jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26, antara lain:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 26

 

 

Badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 26 ayat (1)

 

b. Penentuan Status WPDN/WPLN



• Dalam Pasal 4 ayat (1) P3B yang berpedoman pada Organisation for Economic Co-ordination and Development (OECD) Model, definisi mengenai resident atau disebut sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) diberikan kepada undang-undang domestik dari kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

• Dengan demikian, untuk menentukan apakah subjek pajak merupakan resident dari negara yang mengadakan P3B adalah berpedoman pada ketentuan domestik masing-masing negara tersebut.

• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)

• Model P3B:
a. Pasal 4

 

c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)


• Tempat usaha yang dianggap permanen sesuai dengan kriteria dalam bentuk usaha tetap, adalah sepanjang tempat usaha tersebut:

a. digunakan secara kontinu; dan
b. berada di lokasi geografis tertentu

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:

a. Pasal 5 ayat (3)

 

 

• Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:

a. Pasal 4

 

 

Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, dapat dianggap merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B, dengan ketentuan sebagai berikut:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:

a. Pasal 7

 

 

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh, yang menjadi obyek pajak dari suatu BUT, yaitu:

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 5 ayat (1)

 

 

• Konsep permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) memiliki peranan penting dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas.

• Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.

• Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 5

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

 

 

Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 2 ayat (5)

 

 

• Pasal 4 ayat 1 PMK-35/PMK.03/2019 diatur bahwa bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

• Sedangkan Representative Office didirikan dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan. Dalam Pasal 6 PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa:

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 2 ayat (5)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

 

 

• Dalam PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:

• Untuk penerapan P3B, penerapan jasa tersebut merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:

a. Pasal 4 ayat (2),
b. Pasal 8 ayat (1), dan
c. Pasal 8 ayat (2)

 

 

Penggunaan website tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

 

 

 

• Sesuai dengan SE-50/PJ/2013, untuk setiap transaksi, pemeriksa akan melakukan uji eksistensi dan manfaat ekonomi.

• Pengujian tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut telah benar-benar dilakukan dan memberikan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa

 

 

BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan sehingga BUT wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana subjek pajak badan dalam negeri pada umumnya.

Bagi WPLN yang tidak memiliki BUT, maka penghasilan yang diperoleh akan dipotong/dipungut pajaknya oleh pemotong/pemungut pajak sesuai ketentuan UU PPh (PPh Pasal 26), atau sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (1a)

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
a. Pasal 3

 

d. Controlled Foreign Company (CFC)




 

 

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019:

 

ditetapkan memiliki pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa.

dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal.
 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

 

Ketentuan umum PMK-107/2017 dan PMK-93/2019:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

 

Sesuai dengan Pasal 3 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK 93/PMK.03/2019, saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung WPDN pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada:

dalam hal BULN Nonbursa terkendali Iangsung tersebut berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki pilihan untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan interim (berdasarkan estimasi), saat diperolehnya Deemed Dividend tersebut ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan akhir (final) bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun yang bersangkutan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

 

• Dalam hal deemed dividend lebih besar dari dividen yang diterima, maka, selisih deemed dividend tersebut menjadi saldo yang dapat diperhitungkan dengan dividen yang diterima dalam jangka waktu lima tahun.


• Dalam hal deemed dividend lebih kecil dari dividen yang diterima, maka selisih dividen yang diterima dikenai Pajak Penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak diterimanya dividen.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

 

Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, maka ketentuan Deemed Dividend tetap berlaku sepanjang:

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
a. Pasal 39


• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

 

• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK-107/PMK.03/2017, Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai Controlled Foreign Company (CFC) karena penyertaan modal langsung PT JKL lebih besar dari 50%.

• Penghasilan yang diperoleh Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai dividen yang seharusnya diterima oleh PT JKL.

• Besarnya beban pajak yang harus dibayarkan PT JKL Tahun 2017 adalah:
o Penghasilan netto dalam negeri Rp1.000
o Penghasilan netto luar negeri Rp500
o Penghasilan Kena Pajak Rp1.500
o Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
o Pajak terutang = 25% x Rp1.500 = Rp375

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

 

Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2017 adalah:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

 

e. Thin Capitalisation




 

 

Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat perbandingan yang tinggi antara modal hutang (debt capital) dan modal ekuitas (equity capital). Tujuan dari thin capitalization adalah untuk memperoleh tingkat penghasilan kena pajak yang rendah karena adanya tambahan beban bunga hutang/pinjaman, sehinga beban pajakyang ditanggung sebuah perusahaan menjadi lebih kecil.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan

 

f. Branch Profit Tax (BPT)




 

 

Branch Profit Tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan PMK-14/PMK.03/2011, Branch Profit Tax tidak dikenakan jika Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dalam bentuk:

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (4)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap

 

g. Miscellaneous



Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PER-25/PJ/2018, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner dalam hal:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1a)


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

Kerugian LN

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN tidak dapat memperhitungkan:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
b. Pasal 24

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri

 

 

Ketentuan P3B


a. Penentuan Status WPDN/WPLN


• Sesuai dengan Pasal 2 PMK-18/PMK.03/2021, Tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia sepanjang yang bersangkutan masih:

• Sesuai dengan Pasal 3 PMK-18/PMK.03/2021, Tuan A dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri jika Tuan A merupakan:

• Dalam hal terdapat P3B Indonesia dengan negara X, maka penentuan status subjek pajak tuan A dan pemajakan atas penghasilannya ditentukan berdasarkan ketentuan dalam P3B antara Indonesia dengan negara tersebut.

• Dalam hal tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia, maka atas penghasilan yang diperoleh Tuan A di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia.
 

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

 

 

WNA yang telah memenuhi syarat sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU PPh dan telah memiliki NPWP, WNA tersebut telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga memiliki hak dan kewajiban termasuk dapat mengajukan permohonan penerbitan SKD sepanjang permohonan yang diajukan tersebut telah memenuhi ketentuan dalam PER-28/PJ/2018.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dan (4) PMK-18/PMK.03/2021, Mr. FN dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia karena mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia.

• Dalam hal pemerintah Australia juga mengklaim bahwa Mr. FN merupakan subjek pajak dalam negeri Australia, maka penentuan subjek pajak dilakukan berdasarkan ketentuan mengenai penduduk (residence) dalam P3B Indonesia-Australia dengan memperhatikan klausul tie-breaker rules.

• Dalam P3B Indonesia-Australia diatur bahwa apabila seorang merupakan penduduk di kedua Negara, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut:

• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. Pasal 4 tentang Penduduk (Residence

 

b. Contoh Artikel P3B


a. Pasal 12 ayat (2) OECD Model mendefinisikan royalti sebagai berikut:
“Setiap pembayaran dalam bentuk apa pun yang diterima sebagai imbalan untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusastraan, karya seni, atau karya ilmiah termasuk film-film sinematografi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau untuk informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan”. Sementara itu, UN Model memberikan definisi royalti yang lebih luas karena terdapat jenis pembayaran yang termasuk dalam penghasilan royalti berdasarkan UN Model, tetapi tidak lagi termasuk dalam OECD Model yaitu penghasilan atas hak pemakaian Industrial, Comercial, Scientific (ICS) Equipment. Penghasilan atas hak menggunakan ICS sudah tidak lagi diatur di Pasal 12(2) OECD Model. Penghasilan ini termasuk Business Profit Pasal 7 OECD Model. 


b. Mengacu Pasal 12 ayat (3) UN Model, definisi royalti adalah sebagai berikut:
“Setiap pembayaran dalam bentuk apa pun yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusastraan, karya seni, atau karya ilmiah termasuk film-film sinematografi, atau film atau pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio atau televisi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau untuk menggunakan, atau hak untuk menggunakan, perlengkapan perindustrian, perdagangan atau ilmiah atau atas informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan”.

• Model P3B:

 

Sewa Mesin

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

Pasal 26 ayat (1) huruf c

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

P3B Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

 

Jasa

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf d


Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


Agreement Between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion With Respect to Taxes on Income:

 

Shipping and Aircraft

 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1)

Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

pasal 8 P3B Indonesia dan Negara ABC mengatur mengenai ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional.

 

Dividen

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,   serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

a. Pasal 14,
b. Pasal 17,
c. Pasal 21,
d. Pasal 34
e. Pasal 35,
f.  Pasal 36, dan
g. Pasal 37

 

Dividen

• Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh, dividen yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang wajib membayarkan


• Lebih lanjut, PER-25/PJ/2018 mengatur bahwa:

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf a


•Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
a. Pasal 2,
b. Pasal 3 ayat (1),
c. Pasal 3 ayat (2),
d. Pasal 3 ayat (3), dan
e. Pasal 7 ayat (8)

 

Bunga

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 23 ayat (4) huruf a

 

Bunga (P3B Indonesia – Jepang)

Agreement between Japan and the Republic of Indonesia for the Avoidance of Doble Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income

a. Pasal 7 ayat (7)
b. Pasal 11

 

Royalti

• Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, royalti yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang wajib membayarkan.

• Lebih lanjut, PER-25/PJ/2018 mengatur bahwa:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 26 ayat (1) huruf c

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:

 

Penjualan atau Pengalihan Harta

•Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) PMK-82/PMK.03/2009, Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.

• Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud adalah sebesar 25% dari harga jual sehingga jumlah pajak yang dipotong/dipungut adalah sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%).

• Pasal 2 ayat (4) PMK-82/PMK.03/2009 mengatur mengenai cakupan jenis harta yang dimaksud dalam klausul penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yaitu penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 26 ayat (2)


• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia

 

Penjualan atau Pengalihan Harta

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) PMK-82/PMK.03/2009, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

 

Penjualan saham

• Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) KMK-434/KMK.04/1999, penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) KMK-434/KMK.04/1999, terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak hanya dilakukan apabila, berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.

• Untuk dapat menerapkan ketentuan yang berlaku dalam P3B, maka persyaratan yang diatur dalam PER-25/PJ/2018 harus dipenuhi.

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 26 ayat (2)

• Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

Penjualan saham

• Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia - Australia, hak pemajakan atas transaksi pengalihan saham perusahaan yang asetnya sebagian besar berupa aktiva tetap, berada pada negara dimana aktiva tetap tersebut berada yaitu di Indonesia.

• Terhadap Transaksi 1, penghasilan dari penjualan saham tersebut terutang pajak PPh Pasal 26 final sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%) dari harga jual, yang dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh PT FMN.

• Terhadap Transaksi 2, atas penghasilan yang diterima Houston Co. dipotong PPh Pasal 26 final sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%) dari harga jual oleh PT SPH.

PT SPH juga berkewajiban menyetor dan melaporkan PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut.

Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham

Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:

a. Article 13 ayat (4)

 

Penjualan saham

Berdasarkan PP No.14 Tahun 1997 dan KMK- 282/KMK.04/1997, saham yang diperjualbelikan di bursa efek dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2).

• Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek s.t.d.t.d. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1997

• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

 

Dependant Personal Services

• Pasal 16 P3B Indonesia-Amerika Serikat, mengenai pekerjaan dalam hubungan kerja (dependent personal services) mengatur bahwa penghasilan yang diperoleh penduduk suatu Negara dalam suatu hubungan kerja yang dilakukan di Negara lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara domisili penerima penghasilan tersebut, apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:

• Apabila salah satu atau lebih dari kondisi tersebut tidak terpenuhi, hak pemajakan atas penghasilan Mr. J berada di Indonesia dan BUT XYZ wajib memotong pajak atas penghasilan yang diterima oleh Mr. J, dan menyetor serta melaporkan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
 

Convention Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the United States of America (as amended by 1996 Protocol) for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income

a. Article 16

 

Jasa Konsultasi (P3B Indonesia – Australia)

• Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.

• Dalam hal Mr. CR (SPLN) dikontrak oleh PT. MFG (WPDN) untuk memberikan konsultasi terkait profesinya sebagai ahli hukum/lawyer dan berada di Indonesia dalam jangka waktu 150 hari, maka atas pembayaran gaji Mr. CR akan masuk dalam cakupan pasal 14 Independent Personal Services P3B Indonesia-Australia;

• Pasal 14 P3B Indonesia-Australia memberikan ketentuan bahwa atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi dari pemberian jasa professional (sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal tersebut) atau pekerjaan bebas lainnya, hanya dapat dikenakan pajak (shall be taxable only) di negara domisili. Namun demikian, terdapat pengecualian atas ketentuan tersebut dimana negara sumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan tersebut sebagai berikut:

• Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia-Australia, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf d

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. pasal 1, mengatur mengenai cakupan resident yang dapat menerima manfaat P3B;
b. pasal 14, mengatur mengenai alokasi hak pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan bebas (independent personal services).

 

Pelajar dan Peserta Magang

• Dalam OECD Model dan UN Model, ketentuan mengenai hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh pelajar dan peserta magang terdapat dalam Pasal 20.

• Pasal ini memberikan pembebasan pajak kepada pelajar dan peserta magang di negara dimana pelajar dan peserta magang tersebut melakukan kegiatan pembelajaran atau magang.

Contoh:
Tuan Dani yang merupakan SPDN Indonesia dikirimkan oleh PT GHI untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Negara ZE (negara tuan rumah). PT GHI mengirimkan biaya hidup dan biaya pelatihan kepada Tuan Dani. Ketentuan dalam P3B antara Negara Indonesia dengan Negara ZE mengatur bahwa pembayaran untuk keperluan biaya hidup, pendidikan atau pelatihan yang diterima oleh pelajar, mahasiswa, pegawai yang ikut serta dalam pelatihan, dan pegawai magang tidak dikenai pajak di Negara Pihak dalam Persetujuan yang menjadi tempat atau lokasi dilakukannya kegiatan pendidikan atau pelatihan sepanjang pembayaran tertentu tersebut bersumber dari luar Negara dimaksud.

• P3B Indonesia dengan negara-negara mitra

• Model P3B

 

Premi Asuransi dan Reasuransi

• Sesuai dengan ketentuan dalam PER-25/PJ/2018, untuk dapat memperoleh manfaat P3B, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia wajib menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut. WPLN menggunakan format SKD WPLN sebagaimana tercantum dalam Lampiran PER 25/PJ/2018 (Form DGT).

• Pihak yang harus mengisi DGT untuk dapat menerapkan P3B adalah pihak yang menandatangani kontrak dengan perusahaan asuransi di Indonesia.

• Jika pembayaran seluruhnya dilakukan kepada broker, maka broker-lah yang harus mengisi form DGT-nya.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

4.

Implementasi P3B



 

 

a. Surat Keterangan Domisili (SKD)



 

 

 

• Surat Keterangan Domisili (SKD) merupakan surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak dimaksud adalah subjek pajak negaranya.

• SKD terbagi menjadi 2 (dua), yakni SKD Wajib Pajak Dalam Negeri (SKD WPDN) dan SKD Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN).

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

• Menurut PER-25/PJ/2018 dan PER-28/PJ/2018, SKD dapat diakses secara elektronik melalui https://djponline.pajak.go.id.

• SKD WPDN diakses melalui menu Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), sedangkan SKD WPLN melalui menu e-SKD.

• Wajib Pajak harus telah memiliki akun DJP online terlebih dahulu. Jika belum aktivasi, Wajib Pajak dapat menghubungi Kantor Pelayanan Pajak.

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

b. SKD Wajib Pajak Dalam Negeri



 

 

 

• Berdasarkan PER-25/PJ/2018, SKD WPLN disampaikan melalui laman DJP atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat bersamaan dengan pelaporan SPT Masa Pemotongan dan/atau Pemungutan. Masa berlaku SKD sesuai dengan masa berlaku yang tercantum dalam SKD tersebut dengan mempertimbangkan waktu penyampaian SKD pada laman dimaksud.

• Sebagai contoh, Mr. A, WPLN negara mitra P3B Indonesia, mendapat penghasilan dari PT XYZ di Indonesia sepanjang tahun 2019. Mr. A memiliki SKD WPLN yang berlaku dari Januari s.d. Desember 2019 tetapi baru disampaikan melalui laman DJP tanggal 20 Maret 2019 sebelum SPT Masa Februari disampaikan. Atas hal tersebut, PT XYZ dapat melakukan pemotongan pajak sesuai ketentuan P3B mulai masa pajak Februari s.d. Desember 2019. Sementara untuk masa pajak Januari 2019 dapat diajukan pengembalian kelebihan pajak karena SKD WPLN baru diterima setelah masa pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta penyampaian SPT Masa PPh Januari telah terlewati.
 

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

• Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) PER-25/PJ/2018 yang menjelaskan bahwa Pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B, penerapan P3B dapat dilakukan dengan tidak menggunakan Form DGT.

• Tetapi lembaga-lembaga tersebut wajib menyampaikan Certificate of Resident yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ/2018 atau surat keterangan dari otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang menyatakan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan pihak yang dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu berdasarkan P3B.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) huruf d UU PPh, bentuk usaha tetap (BUT) merupakan subjek pajak luar negeri sehingga SKD untuk BUT diterbitkan oleh otoritas pajak negara mitra di mana kantor pusat dari BUT tersebut berada.

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 2 ayat (4) huruf d

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 PER-25/PJ/2018, syarat WPLN dapat memanfaatkan ketentuan P3B yakni (persyaratan kumulatif):

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ/2018, pengesahan Form DGT oleh negara mitra dapat digantikan dengan Certificate of Residence (CoR) yang harus memenuhi ketentuan:

a. menggunakan bahasa Inggris;
b. paling sedikit mencantumkan informasi mengenai:

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

Wajib Pajak Luar Negeri berbentuk Badan dapat memperoleh manfaat P3B sepanjang memenuhi syarat formal dan substansial yang diatur dalam PER-25/PJ/2018.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

• Sesuai dengan Pasal 10 PER-25/PJ/2018, dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi persyaratan administratif, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh yang berlaku.

• WPLN yang terlambat menyampaikan SKD setelah pemotongan dan/atau pemungutan pajak dapat mengajukan pengembalian atas kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak tersebut.

• Pengembalian kelebihan tersebut dapat dilakukan jika pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut tersebut sudah dilaporkan dalam SPT Masa Pemotong atau Pemungut Pajak untuk masa terutangnya pajak.

• Tata cara pengembalian kelebihan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai tata cara atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

• Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

 

• Petunjuk penelitian SKD WPLN dalam SE-35/PJ/2021 huruf E angka 1 butir d dijelaskan bahwa:

“Dalam hal terdapat SKD WPLN yang diterima oleh pemeriksa dalam proses pemeriksaan atau penelaah keberatan dalam proses keberatan atau pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, dokumen tersebut tetap dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sepanjang memenuhi ketentuan formal sebagaimana dimaksud pada huruf b.”

• SKD WPLN diteliti secara formal dan material sesuai dengan ketentuan yang diatur pada PER-25/PJ/2018

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

• SE-35/PJ/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri Pada Proses Pemeriksaan, Keberatan, Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak

 

 

Sesuai dengan Pasal 20 PMK nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang, SKD WPLN merupakan salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam permohonan pengembalian kelebihan pajak.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

 

 

• Sesuai dengan ketentuan dalam PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, untuk WPLN selain orang pribadi (Non Individual):

Penandasahan PART II dapat digantikan oleh CoR yang diterbitkan oleh CA negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.

• Part VI harus diisi oleh WPLN Badan atas seluruh jenis penghasilan yang diterima sesuai dengan ketentuan PER-25/PJ/2018.

• Hal ini disebabkan WPLN secara umum perlu menyampaikan SKD WPLN satu kali dalam satu periode sehingga diperlukan pernyataan dalam Form DGT yang mencakup penghasilan yang telah diterima dan penghasilan yang mungkin diterima di masa yang akan datang.
 

Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

d. Kredit Pajak Luar Negeri




 

 

 

Jika tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara A dan B, berapa besarnya PPh LN yang dapat dikreditkan per jenis penghasilan untuk tiap negara atau yurisdiksi?
 

 

Berdasarkan Pasal 6 PMK-192/PMK.03/2018, penentuan besarnya PPh LN yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit antara:

Sehingga,
Penghasilan neto LN
Negara A                                                 1.500.000.000
Negara B                                                 4.500.000.000
Negara C                                                                      0
Jumlah                                                     6.000.000.000
• Penghasilan neto DN                                 3.000.000.000
• Penghasilan neto fiskal                              9.000.000.000
• PKP                                                            9.000.000.000
• PPh terutang (tarif pasal 17 UU PPh)        2.250.000.000
• PPh LN yang dapat dikreditkan

Negara A
PPh LN                                                      450.000.000
Jumlah tertentu
1,5 Milyar / 9 Milyar x 2,25 Milyar              375.000.000
Jumlah tertentu < PPh LN, sehingga yang dapat dikreditkan sebesar Rp 375 juta

Negara B
PPh LN                                                      675.000.000
Jumlah tertentu
4,5 Milyar / 9 Milyar x 2,25 Milyar           1.125.000.000
PPh LN < jumlah tertentu, sehingga yang dapat dikreditkan sebesar Rp 675 juta

Negara C
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, kerugian dari negara C tidak dapat digabungkan dalam menghitung PKP

Jumlah PPh LN yang dapat dikreditkan PT. ETHERIUM terhadap PPh yang terutang di DN adalah sebesar Rp 1,05 Milyar (Rp 375 juta + Rp 675 juta)
 

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
a. Pasal 24 ayat (6)

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri
a. Pasal 4, dan
b. Pasal 6

5.

Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures and Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Multilateral Instrument, MLI)




 

 

• MLI merupakan instrumen yang memodifikasi P3B sesuai dengan rekomendasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Actions. Pembentukan MLI dilakukan agar memudahkan penyelarasan P3B dengan rekomendasi BEPS Actions tersebut mengingat renegosiasi P3B membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.

• Pembentukan MLI ditujukan untuk menghindari proses negosiasi perjanjian yang panjang dan memakan waktu yang lama yang selama ini terjadi pada perjanjian bilateral.

• P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra tetap berlaku, kecuali untuk klausul P3B yang dimodifikasi dengan MLI untuk klausul yang dimodifikasi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana yang diatur dalam MLI.

MLI Convention

 

 

• OECD Commentary merupakan guideline dalam menafsirkan ketentuan P3B dan bersifat non-binding, sementara MLI mengikat para pihak penanda tangan (signatories).

• Berbeda dengan Protokol yang langsung mengubah ketentuan dalam P3B, MLI bekerja berdampingan dengan P3B.

• Dengan demikian, ketentuan dalam P3B tetap harus diperhatikan saat mengaplikasikan MLI. Naskah Sintesis (synthesized text) yang ada dalam lampiran surat edaran Pemberlakuan MLI dapat digunakan untuk memudahkan proses tersebut.

• MLI Convention
• SE Pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan Negara/Yurisdiksi Mitra

 

 

• Pada dasarnya, setiap negara/yurisdiksi memiliki kedaulatan untuk membentuk ketentuan domestik perpajakannya termasuk untuk mengadopsi maupun tidak mengadopsi pasal-pasal dalam MLI.

• Namun perlu diingat bahwa implementasi MLI memerlukan persetujuan 2 (dua) negara mitra untuk memilih pasal MLI yang sama.

• Jadi misalnya Indonesia memilih suatu pasal untuk dimodifikasi, tetapi negara mitra tidak memilih pasal tersebut (memilih untuk reservasi), maka tidak akan terjadi kesesuaian antara Indonesia dengan negara mitra tersebut, sehingga tidak akan ada modifikasi MLI atas P3B antar Indonesia dengan negara mitra tersebut.

• MLI Convention

 

 

 

Indonesia saat ini mengadopsi 11 pasal, yaitu tentang:

• MLI Convention

 

 

Tanggal berlaku efektif MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra dapat diketahui dalam surat edaran Direktur Jenderal Pajak tentang pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/atau yurisdiksi mitra

• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/atau yurisdiksi mitra

• Pasal 35 MLI Convention

 

 

• Setelah ratifikasi, suatu negara pihak dapat mengubah sebagian Posisi MLI mereka.

• Secara khusus, negara tersebut dapat mengidentifikasi lebih banyak perjanjian (P3B) yang akan dimodifikasi oleh MLI, mengadopsi ketentuan opsional, mengganti atau menarik reservasi.

MLI Information Brochure May 2020

6.

Penentuan Harga Transfer




 

a. Transfer Pricing (TP)




 

 

• Dalam suatu transaksi bisnis internasional, harga yang dikenakan oleh satu perusahaan di Negara A ke perusahaan lain di Negara B tercermin dalam laba/rugi kedua perusahaan, baik dari sisi penghasilan atau biaya. Dengan demikian harga yang dikenakan juga berdampak pada Pajak Penghasilan yang dibayarkan oleh kedua perusahaan tersebut.

• Jika perusahaan di Negara A dan Negara B memiliki hubungan istimewa, dengan mengatur harga transfer, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dapat mengatur jumlah pembayaran pajak di masing-masing negara untuk mengurangi beban pajak secara global.

• Pada umunya dilakukan dengan cara mengalokasikan penghasilan yang lebih tinggi di negara dengan tarif pajak rendah serta biaya yang lebih besar di negara dengan tarif pajak tinggi.

• Sebagai contoh, tarif Pajak Penghasilan yang berlaku bagi perusahaan dalam negeri di Indonesia adalah 22 persen dan tarif Pajak Penghasilan di Negara XYZ adalah 15 persen.

• Perusahaan A berlokasi di Indonesia dan Perusahaan B di Negara XYZ. Perusahaan A dan Perusahaan B merupakan perusahaan yang terafiliasi atau memiliki hubungan istimewa. Perusahaan B akan mentransfer bahan baku untuk Perusahaan A dengan harga lebih tinggi dari harga yang wajar.

• Transaksi ini akan memungkinkan Perusahaan A untuk mencatat biaya yang lebih tinggi dan mengurangi laba yang menjadi dasar penghitungan Pajak Penghasilan di Indonesia.

• laba perusahaan B yang lebih besar tidak akan merugikan Perusahaan tersebut, karena tarif Pajak Penghasilan di negara XYZ lebih rendah dari pada di Indonesia. Dengan demikian, kelompok usaha ini secara global akan mendapatkan keuntungan dari penghematan beban pajak.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 18 Ayat (3)

 

 

Fair market value:
Harga barang atau jasa di pasar yang aktif dan efisien, terdiri dari tiga tingkatan: quoted market price (level 1), adjusted market price (level 2), dan valuation price (level 3).

Arm’s length price:
Harga yang digunakan oleh para pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa jika bertransaksi secara independen dalam kondisi yang serupa.  
 

PSAK 68 tentang Pengukuran Nilai Wajar

Pasal 9 Model P3B

 

 

pasal 9 ayat 1 model P3B mengatur bahwa pemajakan atas transaksi dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle).

Model P3B

a. Pasal 9

 

b. Mutual Agreement Procedure (MAP)


• Atas tindakan yang diindikasikan melanggar P3B, walaupun sudah ada mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur di Undang-Undang Perpajakan domestik, Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) melalui pejabat yang berwenang di negaranya.

• Pejabat yang berwenang tersebut melakukan pembahasan demi menghasilkan suatu persetujuan bersama pejabat yang berwenang Negara Mitra terkait penyelesaian sengketa tersebut.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Model P3B

a. Pasal 25

 

• PT ZTE tidak dapat mengajukan permintaan MAP kepada DJP terkait hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa KPP Madya Jakarta Pusat.

• Apabila PT ZTE tidak menyetujui hasil pemeriksaan, PT ZTE dapat mengajukan keberatan atau permohonan pembatalan atas surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan dimaksud sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

• Sebaliknya ZTE Co. dapat mengajukan permintaan MAP melalui otoritas perpajakan Jepang kepada DJP.

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tantang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:

a. Pasal 25 dan
b. Pasal 36

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Model P3B

a. Pasal 25

 

 

Apabila Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan dan KEP Persetujuan Bersama dapat diterbitkan, maka tindak lanjutnya adalah sebagai berikut:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

 

b. Advance Pricing Agreement (APA)


• APA dapat memberikan kepastian harga dan/atau metode transfer pricing yang akan diadopsi untuk transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terafiliasi selama periode tertentu. Selanjutnya, bilateral/multilateral APA juga menghilangkan risiko pengenaan pajak berganda yang timbul dari koreksi atas transaksi antar perusahaan terafiliasi.

• Manfaat dari APA antara lain adalah:

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tantang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 3a

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer


Model P3B:
a. Pasal 25

 

 Apakah yang dimaksud dengan asumsi kritis (critical assumptions} dalam APA?

• Asumsi kritis merupakan salah satu kriteria dalam menentukan harga transfer yang terkait dengan situasi dan kondisi Wajib Pajak seperti ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis, transaksi, fungsi yang dilakukan, risiko yang diasumsikan, dan aktiva yang digunakan oleh para pihak yang bertransaksi, karakteristik transaksi, dan kondisi ekonomi makro yang mempengaruhi transaksi seperti industri, bisnis, dan lain-lain.

• Asumsi kritis sangat penting dalam mendukung posisi APA, perubahan di salah satu asumsi kritis dapat mengakibatkan revisi APA, atau bahkan terminasi.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer

 

 

• Wajib Pajak Dalam Negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar maupun saluran lain, sepanjang memenuhi ketentuan formal, yaitu:

• Apabila Wajib Pajak telah memenuhi seluruh ketentuan formal yang disyaratkan, maka permohonan akan ditindaklanjuti dengna proses penyelesaian permohonan APA.
 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer

 

 

Penyelesaian permohonan APA dilakukan melalui dua tahap, yakni:

baik yang bersifat Unilateral, yakni antara DJP dengan Wajib Pajak, maupun Bilateral, antara DJP dengan Pejabat Berwenang Negara Mitra P3B (Competent Authority).

 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer

7. Exchange of Information (EoI)


• P3B antara Pemerintah Indonesia dan Swiss tidak memiliki klausul pertukaran informasi, sehingga P3B tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum internasional untuk bertukar informasi. Namun demikian, pertukaran informasi dengan Swiss tetap dapat dilaksanakan dengan menggunakan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAAC Convention) sebagai dasar hukum internasional.

• Prosedur domestik untuk pertukaran informasi dengan negara Swiss atau negara mitra lainnya, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018.

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

 

 

• Permintaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Outbound EOIR) dapat diteruskan dengan syarat telah memenuhi kriteria-kriteria EOIR berdasarkan standar internasional. Kriteria-kriteria EOIR tersebut adalah sebagai berikut:

• Permintaan Outbound EOIR yang telah memenuhi kriteria tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018.
 

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

 

 

• AR dapat mengajukan permintaan klarifikasi ke Direktorat Data dan Informasi Perpajakan (DIP) sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Lampiran II huruf G SE-30/PJ/2019.

• Dalam hal AR telah menindaklanjuti data pemicu sebelum tanggal 26 Agustus 2021, AR tetap harus melakukan klarifikasi data pemicu ke DIP untuk mengetahui apakah data pemicu yang ditindaklanjuti sebelumnya sudah sesuai dengan informasi yang ditransmisikan Competent Authority (CA) Negara Mitra/Yurisdiksi Mitra.

• Apabila terdapat perbedaan nama lembaga keuangan maka AR perlu melakukan konfirmasi kembali kepada Wajib Pajak sesuai data pemicu hasil klarifikasi.

SE-30/PJ/2019 tentang Kebijakan Tata Kelola Kewenangan Akses Data Perpajakan

 

 

• KPP dapat melakukan berbagai upaya pencarian informasi dari dalam negeri untuk memenuhi kriteria exhausted, seperti mencari melalui basis data (database) DJP, basis data eksternal (mis: ORBIS, ORIANA), SP2DK kepada WP, situs daring pemerintah/swasta, dan penelusuran lainnya di internet.

• Apabila setelah berbagai upaya pencarian informasi dari dalam negeri tersebut, dokumen pendukung belum dapat diperoleh, KPP dapat mengajukan usulan pertukaran informasi dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada Direktur Perpajakan Internasional dengan mengacu pada ketentuan pertukaran informasi berdasarkan permintaan yang berlaku.

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional

• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

 

 

Format usulan EOIR kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat dilihat pada Lampiran A SE-09/PJ/2018.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

 

 

Standar waktu bagi CA Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk menjawab permintaan EOIR adalah 90 hari kalender.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

 

 

Wajib Pajak dapat melakukan korespondensi via email ke eoidomestik@pajak.go.id dan eoi@pajak.go.id untuk mendapatkan bantuan pembuatan file yang benar.

 

 

 

Berdasarkan PMK-70/PMK.03/2017 s.t.d.t.d PMK-19/PMK.03/2018 Lampiran I huruf C angka 1 poin e, penghasilan yang terkait dengan rekening kustodian berupa:

Sesuai dengan standar AEOI, tidak ada data pembelian.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018

 

 

Sebelum Account Representative (AR) KPP ABC tempat PT X terdaftar melakukan permintaan data terhadap Competent Authority (CA) Singapura terkait kasus tersebut, AR harus memaksimalkan upaya pencarian informasi dari dalam negeri dalam rangka memenuhi kriteria exhausted.

Salah satunya adalah dengan cara melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada PT X dan PT Y atas transaksi tersebut. Informasi yang ada dalam Laporan Keuangan Konsolidasi cukup kuat untuk dijadikan dasar klarifikasi tersebut.

Jika PT X atau PT Y tidak memberikan informasi yang cukup, baru AR tersebut dapat mengajukan pertukaran informasi dengan CA Singapura melalui Direktorat Perpajakan Internasional.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional