TRANSFER PRICING
RELATED LEGAL
Ketentuan terkait Transfer Pricing antara lain:
Ketentuan pasal 10 KUP dan Pasal 18 UU PPh
PMK-213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dalam Transaksi Hubungan Istimewa
PMK-22/PMK.03/2020 tentang Penentuan Harga Transfer
PMK 79 Tahun 2023 tentang Penilaian untuk Tujuan Perpajakan
PMK 49 tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Persetujuan Bersama
PMK Nomor 39 tahun 2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional
Per-32/PJ/2011 jo Perdirjen 43/PJ/2010 tentang Penerapan PKKU dalam Transaksi Hubungan istimewa
Per 22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan TP
Perdirjen Pajak Nomor 28 tahun 2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Perdirjen Pajak Nomor 25 tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan P3B
Perdirjen Pajak Nomor 28 tahun 2018 tentang SKD SPDN dalam P3B
Perdirjen Pajak Nomor 16 tahun 2020 tentang MAP
Literacy:
OECD, Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries, 2021
OECD, OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and tax Administratations, 2022
ARM'S LENGTH PRINCIPLE: PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
Transaksi para pihak dalam hubungan istimewa sama dengan transaksi para pihak independen
HUBUNGAN ISTIMEWA
Penyertaan Modal minimal 25%
Menguasai WP Lain
Keluarga sedarah/semenda 1 derajat lurus ke atas/bawah
TP DOC
PMK 213 tahun 2016 mewajibkan dokumen yang wajib disimpan terkait transaksi dalam hubungan istimewa adalah sebagai berikut:
Master File
Local File
Country by Country Report
COMPARABILITY ANALYSIS
Karakteristik barang dan jasa
FAR
Ketentuan kontrak
Ketentuan ekonomi
Strategi Bisnis
INDUSTRIAL ANALYSIS
AFFILIATED TRANSACTION ANALYSIS
SUPPLY CHAIN ANALYSIS
FUNCTION, ASSETS & RISKS
FUNCTION
MANUFACTUR: CONTRACT MANUFACTURER, LICENSED MANUFACTURER, TOLL MANUFACTURER, FULLY FLEDGED MANUFACTURER
DISTRIBUTOR: FULLY FLEDGE DISTRIBUTOR, LIMITED RISK DISTRIBUTOR, COMMISIONAIRE, AGENCY
SERVICES: SHARED SERVICES CENTRE, CONTRACT SERVICES PROVIDER, SOPHISTICATED SERVICES PROVIDER
PEMBELIAN BAHAN BAKU
KONSINYASI BAHAN BAKU
RD
PERENCANAAN PRODUKSI
PROSES PRODUKSI
KEPEMILIKAN PRODUK
PERAKITAN DAN PENGEMASAN
PERGUDANGAN DAN LOGISTIK
PENETAPAN HARGA JUAL
INVOICING DAN PENAGIHAN
PEMASARAN, IKLAN, PROMOSI
QC
PENJUALAN DAN DISTRIBUSI
LAIN2
ASSETS:
Berwujud
Tak Berwujud
RISKS
RD
KEUANGAN
BAHAN BAKU IMPOR
BAHAN BAKU LOKAL
KETIDAKEFISIENAN LINI PRODUKSI
JADUAL PRODUKSI
KEGAGALAN PRODUKSI
PASAR
INVESTASI
PERSEDIAAN
NILAI TUKAR
KERUSAKAN PRODUK DAN GARANSI
PIUTANG TAK TERTAGIH
RATIO
GROSS MARGIN
GM TO CGS
NOI TO SALES
NOI TO CGS+OC
ROA=NOI TO TOA
ROCE=NOI TO A+CL
BERRY RATIO= GM TO OC
DER
RD C TO SALES
MARKETING TO SALES
NCP= NET OPERATING INCOME/TOTAL COST
PROFIT LEVEL INDICATOR (PLI)
Return on Sales: NOI/Sales
Return on Assets (ROA): NOI/Total Assets
Return on Capital Employeed (ROCE): NOI/Operating Assets= (Total Assets-(intagible assets + affiliated investment value + (cash-working capital))
Net Cost Plus Mark Up (NCPM) =Return on Total Cost (ROTC): NOI/(COGS+Operating Exp)
Berry Ratio= gross Profit/Operating Cost=(Gross Profit-Operating Cost)/operating Cost
Mark-up on value-added costs: Operating Income/(Total Cost-Purchase)
Cost Cover Ratio: Operational Cost/operating income
Cash Profit Ratio: EBIT/Sales
Hal 342 Transfer Pricing by Dany Darussalam
TRANSAKSI DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA
PENJUALAN, PEMBELIAN, PENGALIHAN, PEMANFAATAN HARTA BERWUJUD
INTRA GROUP SERVICES
PENGALIHAN, PEMANFAATAN INTAGIBLE ASSET
PEMBAYARAN BUNGA
PENJUALAN, PENGALIHAN SAHAM
TP METHOD
Penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh, untuk mencegah penhindaran pajak dalam transaksi antar pihak dalam hubungan istimewa, untuk menghitung besarnya penghasilan atau besarnya biaya yang wajar, dapat digunakan metode sebagai berikut:
Comparable Uncontrolled Price Method: Metode perbandingan harga antar pihak yang independen.
Resale Price Method; Metode harga penjualan kembali
Cost-Plus Method: Metode biaya-plus
Profit Split Method: Metode pembagian laba
Transactional Net Margin Method: Metode laba bersih transaksional;
Comparable Uncontrolled Transaction Method: Metode perbandingan transaksi independen
Tangible Asset and Intagible Asset Valuation: Metode dalam penilaian harta berwujud dan harta tidak berwujud
Business Valuation: Metode dalam penilaian bisnis
MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE
Pasal 27C UU KUP
Prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Prosedur persetujuan bersama dapat diajukan oleh:
a. Wajib Pajak dalam negeri;
b. Direktur Jenderal Pajak;
c. pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda; atau
d. warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi.
Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan: a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau
c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b.
Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
a. melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama; atau
b. menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan bersama dengan menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan bersama. Surat keputusan tentang persetujuan bersama termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a) atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
ADVANCE PRICING AGREEMENT
Pasal 18 ayat (3a) UU PPH
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. ***)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
TAX TREATY
Pasal 32A UU PPH
Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
a. penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
c. pertukaran informasi perpajakan;
d. bantuan penagihan pajak; dan
e. kerja sama perpajakan lainnya. ******)
OECD GUIDELINES FOR MULTINATIONAL ENTERPRISES 2022
1. The Arm’s Length Principle
a. Introduction
b. Statement of the arm’s length principle
c. A non-arm’s length approach: Global formulary apportionment
d. Guidance for applying the arm’s length principle
2. Transfer Pricing Methods
a. Selection of the Transfer Pricing Method
1) Selection of the most appropriate transfer pricing method to the circumstances of the case
2) Use of more then one method
b. Traditional Transaction Methods
1) Introduction
2) Comparable uncontrolled price method
3) Resale price method
4) Cost plus method
c. Transactional Profit Methods
1) Introduction
2) Transactional net margin method
3) Transactional profit split method
4) Conclusions on transactional profit methods
3. Comparable analysis
a. Performing a comparability analysis
b. Timing issues in comparability
c. Compliance issues
4. Administrative approaches to avoiding and resolving transfer pricing disputes
a. Introduction
b. Transfer Pricing Compliance Practices
c. Corresponding adjustments and the mutual agreement procedure: Articles 9 and 25 of the OECD Model Tax Convention
d. Simultaneous tax examinations
e. Safe Harbours
f. Advance Pricing Arrangements
g. Arbitration
5. Documentation
a. Introduction
b. Objectives of Transfer Pricing Documentation Requirements
c. A Three-Tiered Approach to Transfer Pricing Documentation
d. Compliance Issues
e. Implementation
6. Special consideration for intagibles
a. Identifying Intagibles
b. Ownership of Intagibles and Transactions Involving the Development, enhancement, maintenance, protection and exploitation of intangibles
c. Transactions involving the use of transfer intagibles
d. Supplemental guidance for determining arm’s length conditions in cases involving intagibles
7. Special consideration for intra-group services
a. Introduction
b. Main issues
c. Some examples of intra-group services
d. Low valu-adding intra-group services
8. Cost contribution arrangements
a. Introduction
b. Concept of a CCA
c. Applying the arm’s length principle
d. CCA Entry, withdrawal or termination
e. Recommendations for structuring and documenting CCAs
9. Transfer pricing aspects of business restructurings
a. Introduction
b. Arm’s Lentgh Compensation for the restructuring itself
1) Introduction
2) Understanding the restructuring itself
3) Recognition of the accurately delineated transactions that comprise the business restructuring
4) Reallocation of profit potential as a result of a business restructuring
5) Transfer of something of value (e.g. an asset or an ongoing concern)
6) Indemmification of the restructured entity for the termination or substantial renegotiation of existing arrangements
c. Remuneration of post-restructuring controlled transactions
1) Business restructurings versus structuring
2) Application to business restructuring situations: selection and application of a transfer pricing method for the post-restructuring controlled transactions
3) Realtionship between compensation for the restructuring and post-restructuring remuneration
4) Comparing the pre-and post-restructuring situations
5) Location saving
10. Transfer Pricing aspects of financial transactions
a. Introduction
b. Interaction with the guidance in Section
c. Treasury function
d. Financial guarantees
e. Captive insurance
ABOUT TRANSFER PRICING
Arm's Length Principle
Transfer Pricing Definition
Arm's Length Principle
Ex-Ante
Formal and Material aspect
Formal Aspect
Material Aspect
Affiliated Transactions
When is the affiliated trancaction considered to exist
Dependent, or bound
Information and it's sources
Industry Analysis
Manufacturing Industry
Comparibility Analysis
Comparibility
Business Process & Model
Comparative Data
Data Comparison use
Step of Search
Data year: Single or Multi year
Methode Selection
General regulate
Selection Hierarchy
Selection with the limited data
Transfer Pricing Method
Comparable Uncontrolled Price (CUP)
Cost Plus Method (CPM)
Resale Price Method (RPM)
Transactional Net Margin Method (TNMM)
Comparable Uncontrolled Transaction (CUT)
Profit Split Method
Business Valuation, Tangible & Intagible Asset Valuation
Methode Aplication
Single Point
Range
Point in the Quartil Range
Fiscal Correction by TNMM
Exchange of Information
FqQ dari Kemenkeu.go.id
Umum
a. Pajak Internasional
Apa saja cakupan dari Pajak Internasional?
Cakupan dari Pajak Internasional adalah:
Wajib Pajak Dalam Negeri yang memperoleh penghasilan dari luar negeri; dan
Wajib Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari dalam negeri.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 2 ayat (3) dan
Pasal 2 ayat (4)
b. Pajak Berganda
Bagaimana pengenaan pajak berganda pada transaksi internasional dapat terjadi?
Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut:
Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena bersumber di negara tersebut.
Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya.
Negara A dan Negara B mengenakan pajak terhadap seorang Wajib Pajak, karena masing-masing negara mengklaim sebagai penduduk di negaranya.
Apakah penyebab terjadinya pajak berganda internasional?
Pajak berganda internasional akan timbul karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Pengenaan pajak berganda internasional timbul karena tiga konflik berikut:
Konflik antar sesama Negara sumber
Konflik antar sesama Negara domisili
Konflik antar Negara sumber – Negara domisili
c. Tentang P3B
Bagaimana dasar hukum pembentukan P3B, terutama dalam kaitannya dengan ketentuan perpajakan?
Sesuai dengan UU PPh, Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
pertukaran informasi perpajakan;
bantuan penagihan pajak; dan
kerja sama perpajakan lainnya.
Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, Pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Apakah P3B dapat menimbulkan hak pemajakan baru?
Tidak, karena P3B adalah suatu ketentuan yang dipergunakan untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas transaksi lintas batas yang terjadi antar negara.
Dalam konteks perpajakan internasional, sistem pajak worldwide dan territorial merupakan alternatif utama yang digunakan negara domisili untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari Luar Negeri. Apakah yang dimaksud dengan sistem pajak worldwide dan territorial tersebut?
• Setiap negara bebas untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, pada umumnya, sistem perpajakan internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili (the residence principle) dan prinsip sumber (the territoriality principle).
• Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Sementara, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial.
• Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak.
• Negara yang menganut sistem pajak worldwide akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negaranya.
Apabila terjadi konflik atau perbedaan pengaturan pada ketentuan domestik dan P3B atas suatu transaksi internasional, ketentuan manakah yang berlaku?
• P3B merupakan ketentuan lex-spesialis. Oleh karenanya, apabila terjadi konflik antara ketentuan P3B dan ketentuan domestik atas suatu transaksi internasional, ketentuan P3B lebih diutamakan.
• Berdasarkan PMK-202/PMK.0102017 s.t.d.t.d PMK-236/PMK.010/2020, dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.
• Penjelasan Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
• Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.010/2017 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020
Bagaimana jika tarif pemotongan/pemungutan pajak atas bunga, royalti atau dividen dalam P3B lebih besar dibandingkan dengan tarif menurut ketentuan domestik?
• Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan perjanjian.
• Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih besar, maka tarif yang digunakan adalah yang sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.
d. Tax Avoidance
Apakah yang dimaksud dengan treaty shopping?
• Treaty shopping adalah suatu praktik yang dilakukan oleh Wajib Pajak suatu negara dengan menggunakan suatu skema tertentu, untuk mendapatkan manfaat/fasilitas yang diberikan oleh tax treaty yang menggunakan pasal-pasal dalam tax treaty yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.
• Contoh transaksi yang dicurigai termasuk dalam skema penyalahgunaan P3B, antara lain:
transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
transaksi yang penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO).
Apakah yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle?
• IBFD International Tax Glossary (2015) mendefinisikan special purpose vehicle adalah entitas yang dibentuk untuk berpartisipasi dalam pengaturan keuangan terstruktur atau transaksi investasi yang biasanya sebagai bagian dari rencana pengurangan atau penghindaran pajak.
• OECD Glossary Statistical Terms mendefinisikan special purpose entities adalah entitas yang secara umum terorganisir atau didirikan dalam perekonomian selain perekonomian di mana perusahaan induk berada.
• Bentuk dari special purpose company antara lain; conduit company, letter box company, money box company, paper company, atau shell company.
• Ketentuan mengenai special purpose company dalam aturan domestik diatur dalam:
Pasal 18 ayat (3b) dan ayat (3c) UU Pajak Penghasilan,
Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri,
Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan PIhak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga, dan
Peraturan Menteri Keuangan No. 142/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle.
• Definisi SPV:
sesuai dengan Pasal 1 angka 2 PMK No.258/PMK.03/2008, perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) adalah perusahaan antara yang dibentuk dengan tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Heaven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) PMK No. 127/PMK.010/2016, berdasarkan Undang Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, mendefinisikan special purpose company sebagai perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti untuk pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.
• Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 18 ayat (3b) dan
b. Pasal 18 ayat (3c)
• Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3(c) Undang Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib Pajak Luar Negeri;
• Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.01/2016
Conduit Company
Seringkali dijumpai modus di mana Wajib Pajak Luar Negeri menggunakan perusahaan antara (conduit company) di negara yang memiliki P3B dengan Indonesia sebagai perantara untuk menerima penghasilan dividen, bunga atau royalti dengan tujuan untuk memanfaatkan P3B antara Indonesia dengan negara mitra P3B di mana perusahaan conduit tersebut berada. Apakah atas manfaat P3B yang diterima oleh perusahaan conduit tersebut dapat dibatalkan dengan alasan perusahaan conduit tersebut bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan dimaksud?
• Secara umum, berdasarkan Pasal 2 PER-25/PJ/2018 untuk dapat memanfaatkan tarif P3B untuk penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti, beneficial owner dari penghasilan tersebutlah yang harus merupakan residen dari negara mitra P3B.
• Hal ini juga dapat diterapkan dalam kasus yang melibatkan perusahaan conduit, di mana terjadi penyalahgunaan P3B sehingga manfaat dalam P3B tidak dapat diberikan.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
2. Ketentuan Domestik
a. Pasal 26 UU PPh
Secara umum, apa yang diatur dalam PPh Pasal 26?
• Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
• Jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26, antara lain:
dividen;
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan;
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
keuntungan karena pembebasan utang.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26
Siapa Pemotong PPh Pasal 26?
Badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1)
b. Penentuan Status WPDN/WPLN
Bagaimanakah konsep ‘resident’ dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty?
• Dalam Pasal 4 ayat (1) P3B yang berpedoman pada Organisation for Economic Co-ordination and Development (OECD) Model, definisi mengenai resident atau disebut sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) diberikan kepada undang-undang domestik dari kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
• Dengan demikian, untuk menentukan apakah subjek pajak merupakan resident dari negara yang mengadakan P3B adalah berpedoman pada ketentuan domestik masing-masing negara tersebut.
• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)
• Model P3B:
a. Pasal 4
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Apa yang dimaksud dengan tempat usaha bersifat permanen dalam penentuan suatu bentuk usaha tetap?
• Tempat usaha yang dianggap permanen sesuai dengan kriteria dalam bentuk usaha tetap, adalah sepanjang tempat usaha tersebut:
a. digunakan secara kontinu; dan
b. berada di lokasi geografis tertentu
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 5 ayat (3)
Apa saja kriteria suatu usaha untuk ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia?
• Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan
tempat usaha tersebut digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 4
Bagaimana cara menentukan periode waktu untuk penerapan P3B dalam BUT yang berbentuk proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan?
Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, dapat dianggap merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B, dengan ketentuan sebagai berikut:
periode waktu dihitung sejak saat proyek mulai dikerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing;
periode waktu berakhir saat :
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menyelesaikan pekerjaan dan menyerahkan hasil pekerjaan kepada penerima jasa konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; atau
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menghentikan pekerjaan sebelum pekerjaan selesai;
penghentian pengerjaan proyek untuk sementara tidak menunda penghitungan periode waktu;
bagian dari hari dihitung penuh 1(satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan bulan; dan
waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor dalam negeri maupun luar negeri.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 7
Apa saja yang menjadi obyek pajak dari suatu BUT?
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh, yang menjadi obyek pajak dari suatu BUT, yaitu:
penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 5 ayat (1)
Bagaimana peran penting permanent establishment (PE) dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh dari suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas?
• Konsep permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) memiliki peranan penting dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas.
• Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.
• Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
Apa saja jenis dari Bentuk Usaha Tetap?
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
tempat kedudukan manajemen;
cabang perusahaan;
kantor perwakilan;
gedung kantor;
pabrik;
bengkel;
gudang;
ruang untuk promosi dan penjualan;
pertambangan dan penggalian sumber alam;
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (5)
Apa perbedaan antara BUT dan representative office?
• Pasal 4 ayat 1 PMK-35/PMK.03/2019 diatur bahwa bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan
tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan,
• Sedangkan Representative Office didirikan dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan. Dalam Pasal 6 PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa:
Kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) merupakan kegiatan pendahuluan agar kegiatan yang esensial dan signifikan siap untuk dilakukan.
Kegiatan yang bersifat penunjang (auxiliary) merupakan kegiatan tambahan yang memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (5)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
Bagaimana penentuan BUT atas pemberian jasa?
• Dalam PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing atau subkontraktor dari Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut;
pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.
• Untuk penerapan P3B, penerapan jasa tersebut merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 4 ayat (2),
b. Pasal 8 ayat (1), dan
c. Pasal 8 ayat (2)
Apakah kegiatan usaha yang dilakukan melalui website internet dimana website tersebut terdapat di luar negeri dapat menimbulkan bentuk usaha tetap?
Penggunaan website tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
Apakah kegiatan usaha yang dilakukan melalui website internet dimana website tersebut terdapat di luar negeri dapat menimbulkan bentuk usaha tetap?
• Sesuai dengan SE-50/PJ/2013, untuk setiap transaksi, pemeriksa akan melakukan uji eksistensi dan manfaat ekonomi.
• Pengujian tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut telah benar-benar dilakukan dan memberikan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Bagaimana pemotongan PPh atas WPLN yang:
a. memiliki BUT?
b. tidak memiliki BUT?
BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan sehingga BUT wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana subjek pajak badan dalam negeri pada umumnya.
Bagi WPLN yang tidak memiliki BUT, maka penghasilan yang diperoleh akan dipotong/dipungut pajaknya oleh pemotong/pemungut pajak sesuai ketentuan UU PPh (PPh Pasal 26), atau sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (1a)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
a. Pasal 3
d. Controlled Foreign Company (CFC)
Bagaimana penentuan CFC sesuai dengan ketentuan domestik?
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019:
Wajib Pajak dalam negeri yang:
Memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada Badan Usaha Luar Negeri (BULN) Nonbursa; atau
Secara bersama sama dengan WPDN lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa
ditetapkan memiliki pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa.
BULN Nonbursa terkendali tidak langsung merupakan BULN Nonbursa yang dikendalikan secara tidak langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri melalui:
BULN Nonbursa terkendali langsung; atau
BULN Nonbursa terkendali langsung dan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung pada tingkat penyertaan modal sebelumnya
dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana perbedaan perlakuan PMK-107/2017 dan PMK-93/2019?
Ketentuan umum PMK-107/2017 dan PMK-93/2019:
PMK-107/2017 berlaku untuk Tahun Pajak 2017 dan Tahun Pajak 2018 mengatur mengenai penetapan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya atas penyertaan modal pada BULN Nonbursa terkendali berdasarkan laba setelah pajak;
PMK-93/2019 berlaku mulai Tahun Pajak 2019 mengubah ketentuan yang ada pada PMK-107/2017 yang meliputi:
mengatur jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan Deemed Dividend;
mengubah dasar pengenaan Deemed Dividend yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana penentuan saat perolehan deemed dividend?
Sesuai dengan Pasal 3 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK 93/PMK.03/2019, saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung WPDN pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada:
akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan;
akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
dalam hal BULN Nonbursa terkendali Iangsung tersebut berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki pilihan untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan interim (berdasarkan estimasi), saat diperolehnya Deemed Dividend tersebut ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan akhir (final) bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun yang bersangkutan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana perlakuan perpajakan apabila jumlah dividen yang diterima berbeda dari deemed dividend?
• Dalam hal deemed dividend lebih besar dari dividen yang diterima, maka, selisih deemed dividend tersebut menjadi saldo yang dapat diperhitungkan dengan dividen yang diterima dalam jangka waktu lima tahun.
• Dalam hal deemed dividend lebih kecil dari dividen yang diterima, maka selisih dividen yang diterima dikenai Pajak Penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak diterimanya dividen.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana interaksi antara ketentuan Deemed Dividend dengan ketentuan dividen yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja ?
Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, maka ketentuan Deemed Dividend tetap berlaku sepanjang:
BULN Nonbursa terkendali langsung tidak membagikan dividen kepada WPDN; dan/atau
WPDN tidak melakukan investasi di Indonesia atas dividen yang dibagikan oleh BULN Nonbursa terkendali langsung
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
a. Pasal 39
• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
PT JKL mendirikan anak perusahaan (Cayman JKL Co.) yang dimiliki 100% di Cayman Island untuk menampung penghasilan dari luar negeri. Di negara tersebut tidak terdapat pajak atas penghasilan dan penghasilan yang dikirim ke luar negeri (outbound income) tidak dikenakan pajak.
Pada tahun 2017, PT JKL memperoleh penghasilan neto dalam negeri sebesar 1.000, sementara pada tahun yang sama Cayman JKL Co. memperoleh penghasilan neto sebesar 500.
Apabila Cayman JKL Co tidak membagikan dividen, berapa beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK-107/PMK.03/2017, Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai Controlled Foreign Company (CFC) karena penyertaan modal langsung PT JKL lebih besar dari 50%.
• Penghasilan yang diperoleh Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai dividen yang seharusnya diterima oleh PT JKL.
• Besarnya beban pajak yang harus dibayarkan PT JKL Tahun 2017 adalah:
o Penghasilan netto dalam negeri Rp1.000
o Penghasilan netto luar negeri Rp500
o Penghasilan Kena Pajak Rp1.500
o Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
o Pajak terutang = 25% x Rp1.500 = Rp375
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Berdasarkan kondisi pada pertanyaan nomor 6, dalam hal CFC didirikan di Singapura (tarif pajak 18%, dan outbound income dalam bentuk dividen tidak dikenakan pajak). Berapakah beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?
Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2017 adalah:
Penghasilan netto dalam negeri Rp1 .000
Penghasilan netto luar negeri Rp500
PPh (Singapura) = 18% x Rp500 = Rp90
Penghasilan Netto Setelah Pajak di LN (Dasar Pengenaan Deemed Dividend) = Rp500 – Rp90 = Rp410
Penghasilan Kena Pajak (total) Rp1.410
Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
Pajak terutang = 25% x Rp1.410 = Rp352,5
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
e. Thin Capitalisation
Bagaimana sebuah perusahaan disebut melakukan thinly capitalized? Apa tujuan sebuah perusahaan melakukan thinly capitalized tersebut?
Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat perbandingan yang tinggi antara modal hutang (debt capital) dan modal ekuitas (equity capital). Tujuan dari thin capitalization adalah untuk memperoleh tingkat penghasilan kena pajak yang rendah karena adanya tambahan beban bunga hutang/pinjaman, sehinga beban pajakyang ditanggung sebuah perusahaan menjadi lebih kecil.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan
f. Branch Profit Tax (BPT)
Apakah yang disebut dengan Branch Profit Tax?
Branch Profit Tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan PMK-14/PMK.03/2011, Branch Profit Tax tidak dikenakan jika Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dalam bentuk:
penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
g. Miscellaneous
Apa yang dimaksud dengan beneficial owner dalam ketentuan domestik?
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PER-25/PJ/2018, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner dalam hal:
bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
bagi WPLN badan, harus memenuhi ketentuan:
tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit,
mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan
tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1a)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Kerugian LN
Bagaimana perlakuan kerugian usaha di luar negeri sesuai ketentuan domestik?
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN tidak dapat memperhitungkan:
kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri, termasuk kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri yang diperoleh setelah memperhitungkan kerugian yang diperoleh dari harta atau kegiatan yang memiliki hubungan efektif dengan cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri; dan
kerugian lain yang diderita di luar negeri.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
b. Pasal 24
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri
Ketentuan P3B
a. Penentuan Status WPDN/WPLN
Pada tanggal 1 Juni 2019, Tuan A yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia meninggalkan Indonesia untuk bekerja di negara X. Selama bekerja di negara X, Tuan A tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bagaimana status tuan A sebagai Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada tahun 2019, dan bagaimana pemajakan atas penghasilan yang diterima di negara X?
• Sesuai dengan Pasal 2 PMK-18/PMK.03/2021, Tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia sepanjang yang bersangkutan masih:
bertempat tinggal di Indonesia;
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
• Sesuai dengan Pasal 3 PMK-18/PMK.03/2021, Tuan A dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri jika Tuan A merupakan:
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
bertempat tinggal secara permanen di suatu tempat di luar Indonesia yang bukan merupakan tempat persinggahan;
memiliki pusat kegiatan utama yang menunjukkan keterikatan pribadi, ekonomi, dan/atau sosial di luar Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan:
suami atau isteri, anak-anak, dan/atau keluarga terdekat bertempat tinggal di luar Indonesia;
sumber penghasilan berasal dari luar Indonesia; dan/atau
menjadi anggota organisasi keagamaan, pendidikan, sosial, dan/atau kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah negara setempat;
memiliki tempat menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari di luar Indonesia;
menjadi subjek pajak dalam negeri negara atau yurisdiksi lain; dan/atau
persyaratan tertentu lainnya.
• Dalam hal terdapat P3B Indonesia dengan negara X, maka penentuan status subjek pajak tuan A dan pemajakan atas penghasilannya ditentukan berdasarkan ketentuan dalam P3B antara Indonesia dengan negara tersebut.
• Dalam hal tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia, maka atas penghasilan yang diperoleh Tuan A di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 2 ayat (3) dan
Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Untuk orang pribadi yang berkewarganegaraan asing (WNA) yang bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu lebih dari 183 hari dalam 12 bulan kemudian WNA tersebut sudah memiliki NPWP dan bukan merupakan BUT, apakah memungkinkan untuk WNA tersebut dapat dikategorikan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan dapat memperoleh Surat Keterangan Domisili (SKD) dari Indonesia?
WNA yang telah memenuhi syarat sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU PPh dan telah memiliki NPWP, WNA tersebut telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga memiliki hak dan kewajiban termasuk dapat mengajukan permohonan penerbitan SKD sepanjang permohonan yang diajukan tersebut telah memenuhi ketentuan dalam PER-28/PJ/2018.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 2 ayat (3) dan
Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Mr. FN adalah seorang warga negara Australia. Pada tahun 2021 ia menikah dengan seorang warga negara Indonesia dan dikarunia seorang anak. la membeli sebuah apartemen di Indonesia untuk keluarganya tinggal. Mr. FN memiliki kontrak kerja yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari. Bagaimana status subjek pajak Mr. FN di Indonesia pada tahun 2021?
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dan (4) PMK-18/PMK.03/2021, Mr. FN dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia karena mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia.
• Dalam hal pemerintah Australia juga mengklaim bahwa Mr. FN merupakan subjek pajak dalam negeri Australia, maka penentuan subjek pajak dilakukan berdasarkan ketentuan mengenai penduduk (residence) dalam P3B Indonesia-Australia dengan memperhatikan klausul tie-breaker rules.
• Dalam P3B Indonesia-Australia diatur bahwa apabila seorang merupakan penduduk di kedua Negara, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut:
orang tersebut akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
apabila la mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya di kedua Negara atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap dikedua negara, ia akan dianggap sebagai penduduk di salah satu negara di mana ia menurut kebiasaannya berdiam;
apabila ia mempunyai kebiasaan berdiam di kedua Negara atau tidak mempunyai tempat dimana ia biasanya berdiam, ia akan dianggap sebagai Penduduk dalam negeri dari Negara dimana ia mempunyai hubungan pribadi dan hubungan ekonomi yang lebih erat.
• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
• Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. Pasal 4 tentang Penduduk (Residence)
b. Contoh Artikel P3B
Bagaimana perbedaan royalti menurut OECD Model Tax Convention dan UN Model Tax Convention?
a. Pasal 12 ayat (2) OECD Model mendefinisikan royalti sebagai berikut:
“Setiap pembayaran dalam bentuk apa pun yang diterima sebagai imbalan untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusastraan, karya seni, atau karya ilmiah termasuk film-film sinematografi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau untuk informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan”. Sementara itu, UN Model memberikan definisi royalti yang lebih luas karena terdapat jenis pembayaran yang termasuk dalam penghasilan royalti berdasarkan UN Model, tetapi tidak lagi termasuk dalam OECD Model yaitu penghasilan atas hak pemakaian Industrial, Comercial, Scientific (ICS) Equipment. Penghasilan atas hak menggunakan ICS sudah tidak lagi diatur di Pasal 12(2) OECD Model. Penghasilan ini termasuk Business Profit Pasal 7 OECD Model.
b. Mengacu Pasal 12 ayat (3) UN Model, definisi royalti adalah sebagai berikut:
“Setiap pembayaran dalam bentuk apa pun yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusastraan, karya seni, atau karya ilmiah termasuk film-film sinematografi, atau film atau pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio atau televisi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau untuk menggunakan, atau hak untuk menggunakan, perlengkapan perindustrian, perdagangan atau ilmiah atau atas informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan”.
• Model P3B:
Pasal 12 ayat (2) OECD Model
Pasal 12 ayat (3) UN Model
Sewa Mesin
PT X menyewa barang bergerak berupa mesin dari perusahaan di Negara ABC yang memiliki P3B dengan Indonesia. Kegiatan utama perusahaan tersebut adalah perdagangan bukan sewa menyewa mesin. Bagaimana perlakuan PPh atas sewa mesin tersebut?
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PPh, atas royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Pemajakan atas transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan pada P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra.
Jika pada pasal P3B diatur bahwa pembayaran atas sewa mesin diklasifikasikan sebagai royalti, maka pemajakan atas transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal royalti tersebut.
Jika pada pasal P3B pembayaran atas sewa mesin tidak diatur secara spesifik, pemajakan atas transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal tentang Business Profit.
Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
Pasal 26 ayat (1) huruf c
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
P3B Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
Jasa
PT. A bergerak di bidang usaha pelayaran di jalur internasional.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di kapal, PT. A memanfaatkan jasa outsourcing tenaga kerja dari perusahaan di Singapura, sebut saja X. Ltd. Atas jasa yang diberikannya, X Ltd memberikan tagihan kepada PT A dengan rincian gaji tenaga kerja dan fee.
Bagaimana perlakuan PPh atas biaya gaji dan fee nya?
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Untuk transaksi pembayaran klaim biaya gaji outsourcing tenaga kerja dan fee, maka atas pembayaran tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan dari kegiatan usaha, sehingga masuk dalam cakupan pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-Singapura.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-Singapura, laba usaha yang diterima oleh negara domisili dari menjalankan usahanya di negara sumber hanya dapat dipajaki di negara domisili. Namun demikian, apabila perusahaan tersebut dalam menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber melalui bentuk usaha tetap (BUT) yang berada di negara sumber, maka negara sumber juga dapat mengenakan pajak atas laba yang diatribusikan kepada BUT tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) P3B Indonesia-Singapura.
Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia-Singapura, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf d
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion With Respect to Taxes on Income:
pasal 1, mengatur mengenai cakupan resident yang dapat menerima manfaat P3B, dan
pasal 7 ayat (1), mengatur mengenai alokasi hak pemajakan atas laba usaha.
Shipping and Aircraft
PT RST menggunakan jasa pengangkutan kapal laut dari perusahaan pelayaran yang memiliki tempat manajemen efektif di Negara ABC, yaitu MBS, Co., untuk mengangkut bahan baku produksi dari Jakarta ke Negara ABC. Pengoperasian kapal tetap dilakukan oleh MBS, Co.
Indonesia mempunyai P3B dengan Negara ABC yang mencakup pasal 8 terkait Shipping and Air Transport.
Bagaimana pemajakan atas pembayaran dari PT RST kepada MBS, Co?
Ketentuan pajak domestik atas penghasilan yang diperoleh subjek pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri diatur dalam Pasal 15 UU PPh dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (selanjutnya disebut dengan KMK-417). Dalam KMK-417, besarnya pajak penghasilan bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 2.64% dari peredaran bruto;
Sesuai dengan ketentuan P3B Indonesia-Negara ABC, Pasal 8 terkait shipping and air transport diatur bahwa profit dari pengoperasian kapal atau pesawat dalam jalur internasional hanya dapat dipajaki di negara tempat manajemen efektif berada.
Pengimplementasian ketentuan P3B Indonesia-Negara ABC harus memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018 bahwa WPLN harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1)
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
pasal 8 P3B Indonesia dan Negara ABC mengatur mengenai ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional.
Dividen
PT. ABC memiliki 100% saham XYZ Ltd. di negara X. Pada tahun 2019, XYZ Ltd. membukukan Laba Setelah Pajak sebesar USD 1 Miliar.
Setelah mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada tanggal 4 November 2020, XYZ.Ltd membagikan dividen 30% dari Laba Setelah Pajak.
PT ABC selanjutnya menginvestasikan seluruh dividen yang diterima dari XYZ Ltd. dalam bentuk surat berharga syariah Negara Republik Indonesia dan investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah.
Bagaimana perlakuan perpajakan atas dividen yang diterima oleh PT. ABC?
Sesuai dengan ketentuan PMK-18/PMK.03/2021, dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat antara lain:
harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat selama 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak Tahun Pajak Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh;
investasi tersebut dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir, untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya Dividen atau penghasilan lain dan tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
berasal dari paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak;
harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh; dan
berasal dari Laba Setelah Pajak mulai Tahun Pajak 2020, yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 2 November 2020.
Dengan demikian, dalam hal dividen yang diterima PT ABC dari XYZ Ltd. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PMK-18/PMK.03/2018, maka dividen tersebut dikecualikan dari objek PPh.
Selanjutnya PT ABC wajib melaporkan dividen tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 PMK-18/PMK.03/2018 dan melaporkan laporan realisasi investasi sesuai dengan Pasal 41 PMK-18/PMK.03/2018.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
a. Pasal 14,
b. Pasal 17,
c. Pasal 21,
d. Pasal 34
e. Pasal 35,
f. Pasal 36, dan
g. Pasal 37
Dividen
DEF.Co berstatus sebagai WPLN dan berdomisili di negara A. Pada 2019, DEF.Co menerima penghasilan berupa dividen dari PT. Y yang merupakan WPDN Indonesia. Terdapat P3B antara Indonesia dan negara A. Atas penghasilan dividen tersebut. DEF.Co memperoleh fasilitas P3B setelah menyampaikan SKD WPLN, sehingga PT. Y tidak melakukan pemotongan PPh. Jika kemudian ditemukan bukti bahwa SKD WPLN tersebut tidak memenuhi ketentuan, bagaimana perlakuan atas pemotongan PPh dividen yang diterima DEF.Co?
• Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh, dividen yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang wajib membayarkan
• Lebih lanjut, PER-25/PJ/2018 mengatur bahwa:
Pasal 2, WPLN yang menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan:
penerima penghasilan bukan SPDN Indonesia;
penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
tidak terjadi penyalahgunaan P3B (lebih lanjut diatur dalam Pasal 5); dan
penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Pasal 3 ayat (1), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh.
Pasal 3 ayat (2), dalam hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 2.
Pasal 3 ayat (3), dalam hal berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh.
Pasal 7 ayat (8), dalam hal berdasarkan pengecekan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf a
•Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
a. Pasal 2,
b. Pasal 3 ayat (1),
c. Pasal 3 ayat (2),
d. Pasal 3 ayat (3), dan
e. Pasal 7 ayat (8)
Bunga
PT IAB membayar bunga atas pinjaman kepada cabang Bank RNI di Singapura. Bank RNI merupakan bank yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Apakah pembayaran bunga tersebut dipotong PPh Pasal 26?
Bank RNI cabang Singapura adalah BUT dari Bank RNI (Indonesia) yang merupakan satu kesatuan.
Sehingga Bank RNI cabang Singapura tidak termasuk sebagai penduduk (residence) Singapura.
Pembayaran bunga yang bersumber dari Indonesia kepada Bank RNI cabang Singapura merupakan objek PPh Pasal 23.
Sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) huruf a UU PPh, pemotongan PPh atas bunga tersebut tidak dilakukan.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 23 ayat (4) huruf a
Bunga (P3B Indonesia – Jepang)
PT DEF membayar bunga atas pinjaman kepada Bank JNB yang berkedudukan di Jepang. Bank JNB tidak mempunyai kantor cabang (BUT) yang didirikan di Indonesia. Atas pembayaran bunga tersebut, apakah PT DEF mengacu pada ketentuan tentang laba usaha (business profit) atau ketentuan mengenai bunga (interest) dalam P3B Indonesia-Jepang?
Dalam Pasal 7 ayat (7) P3B Indonesia-Jepang disebutkan bahwa jika dalam jumlah laba usaha termasuk unsur-unsur pendapatan yang diatur secara tersendiri oleh pasal-pasal lain dari Persetujuan ini, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal itu tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal ini.
Walaupun pembayaran bunga tersebut merupakan laba usaha (business profit) Bank JNB, PT DEF dalam kasus ini mengacu pada Pasal 11 tentang bunga (interest) dalam P3B Indonesia-Jepang.
Agreement between Japan and the Republic of Indonesia for the Avoidance of Doble Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income
a. Pasal 7 ayat (7)
b. Pasal 11
Royalti
Tn. X berstatus sebagai WPLN dan berdomisili di negara A. Pada 2019, Tn. X menerima penghasilan berupa royalti dari PT. Y yang merupakan WPDN Indonesia. Atas penghasilan tersebut, PT. Y melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% karena Tn. X tidak dapat menunjukkan SKD, padahal terdapat P3B antara Indonesia dan negara A. Jika kemudian Tn. X dapat menunjukkan SKD WPLN, bagaimana perlakuan atas pemotongan PPh royalti yang diterima Tn. X?
• Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, royalti yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang wajib membayarkan.
• Lebih lanjut, PER-25/PJ/2018 mengatur bahwa:
Pasal 2, WPLN yang menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan:
penerima penghasilan bukan SPDN Indonesia;
penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
tidak terjadi penyalahgunaan P3B (lebih lanjut diatur dalam Pasal 5); dan
penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Pasal 10 ayat (1) huruf b, WPLN dapat meminta pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak terkait penerapan P3B yang salah satunya disebabkan oleh keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B setelah terjadi pemotongan dan/atau pemungutan.
Pasal 10 ayat (3), keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (1) huruf b adalah keterlambatan penyampaian SKD oleh WPLN setelah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf c
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
Pasal 2,
Pasal 3 ayat (1)
Pasal 3 ayat (2),
Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan
Pasal 10 ayat (3)
Penjualan atau Pengalihan Harta
Bagaimana perlakuan perpajakan atas pengalihan harta di Indonesia yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri?
•Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) PMK-82/PMK.03/2009, Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
• Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud adalah sebesar 25% dari harga jual sehingga jumlah pajak yang dipotong/dipungut adalah sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%).
• Pasal 2 ayat (4) PMK-82/PMK.03/2009 mengatur mengenai cakupan jenis harta yang dimaksud dalam klausul penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yaitu penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
• Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (2)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
Penjualan atau Pengalihan Harta
Apakah ada batasan jumlah penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26?
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) PMK-82/PMK.03/2009, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Penjualan saham
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) memiliki 20% saham PT. A (Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang tidak berstatus sebagai emiten). WPLN tersebut menjual semua saham yang dimilikinya kepada WPLN lainnya. Transaksi penjualan saham ini terjadi di luar negeri. Apakah atas transaksi ini terutang PPh di Indonesia?
• Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) KMK-434/KMK.04/1999, penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) KMK-434/KMK.04/1999, terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak hanya dilakukan apabila, berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
• Untuk dapat menerapkan ketentuan yang berlaku dalam P3B, maka persyaratan yang diatur dalam PER-25/PJ/2018 harus dipenuhi.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (2)
• Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Penjualan saham
Houston Co., perusahaan yang berdomisili Australia, memiliki 50% saham PT. FMN yang sebagian besar asetnya berupa aktiva tetap. PT FMN tidak berstatus sebagai emiten. Pada tahun 2019, Houston Co. menjual 25% kepemilikan sahamnya pada PT. FMN kepada Phoenix Co. yang juga merupakan perusahaan Australia (Transaksi 1) dan sisanya sebesar 25% dijual kepada PT. SPH (Transaksi 2). Bagaimana pemajakan terhadap transaksi penjualan tersebut?
• Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia - Australia, hak pemajakan atas transaksi pengalihan saham perusahaan yang asetnya sebagian besar berupa aktiva tetap, berada pada negara dimana aktiva tetap tersebut berada yaitu di Indonesia.
• Terhadap Transaksi 1, penghasilan dari penjualan saham tersebut terutang pajak PPh Pasal 26 final sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%) dari harga jual, yang dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh PT FMN.
• Terhadap Transaksi 2, atas penghasilan yang diterima Houston Co. dipotong PPh Pasal 26 final sebesar 5% (20% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 25%) dari harga jual oleh PT SPH.
PT SPH juga berkewajiban menyetor dan melaporkan PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut.
Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. Article 13 ayat (4)
Penjualan saham
Penjualan saham di bursa efek oleh penjual yang berstatus Warga Negara Asing, apakah dilakukan pemotongan PPh Pasal 26?
Berdasarkan PP No.14 Tahun 1997 dan KMK- 282/KMK.04/1997, saham yang diperjualbelikan di bursa efek dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2).
• Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek s.t.d.t.d. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1997
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
Dependant Personal Services
Mr. J, Warga Negara Amerika Serikat, dikirim oleh perusahaannya XYZ Co. yang merupakan subjek Pajak dalam negeri Amerika Serikat, untuk bekerja di BUT XYZ di Indonesia. Selama bekerja di BUT XYZ, gaji dan remunerasi Mr. J dibayarkan oleh XYZ Co.
Bagaimana kewajiban perpajakan BUT XYZ terhadap Mr. J?
• Pasal 16 P3B Indonesia-Amerika Serikat, mengenai pekerjaan dalam hubungan kerja (dependent personal services) mengatur bahwa penghasilan yang diperoleh penduduk suatu Negara dalam suatu hubungan kerja yang dilakukan di Negara lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara domisili penerima penghasilan tersebut, apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
penerima penghasilan berada di Negara lainnya tersebut dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 120 hari dalam jangka waktu 12 bulan; dan
penghasilan dibayarkan oleh, atau atas nama, pemberi kerja yang bukan merupakan SPDN Negara Sumber tersebut; dan
penghasilan tersebut tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja itu di Negara lain tersebut.
• Apabila salah satu atau lebih dari kondisi tersebut tidak terpenuhi, hak pemajakan atas penghasilan Mr. J berada di Indonesia dan BUT XYZ wajib memotong pajak atas penghasilan yang diterima oleh Mr. J, dan menyetor serta melaporkan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Convention Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the United States of America (as amended by 1996 Protocol) for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income
a. Article 16
Jasa Konsultasi (P3B Indonesia – Australia)
Mr. CR, warga Negara Australia, dikontrak oleh PT MFG untuk memberikan konsultasi terkait profesinya sebagai ahli hukum/lawyer. Mr. CR pada tahun 2019 berada di Indonesia selama 150 hari.
Bagaimana pemotongan pajak yang harus dilakukan oleh PT MFG?
• Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WPLN yang bersumber di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
• Dalam hal Mr. CR (SPLN) dikontrak oleh PT. MFG (WPDN) untuk memberikan konsultasi terkait profesinya sebagai ahli hukum/lawyer dan berada di Indonesia dalam jangka waktu 150 hari, maka atas pembayaran gaji Mr. CR akan masuk dalam cakupan pasal 14 Independent Personal Services P3B Indonesia-Australia;
• Pasal 14 P3B Indonesia-Australia memberikan ketentuan bahwa atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi dari pemberian jasa professional (sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal tersebut) atau pekerjaan bebas lainnya, hanya dapat dikenakan pajak (shall be taxable only) di negara domisili. Namun demikian, terdapat pengecualian atas ketentuan tersebut dimana negara sumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan tersebut sebagai berikut:
apabila orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
apabila orang pribadi tersebut tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau jumlah harinya melebihi 120 hari dalam masa 12 bulan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut di negara sumber.
• Untuk penerapan ketentuan P3B Indonesia-Australia, maka WPLN tersebut harus memenuhi ketentuan penyampaian SKD WPLN sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PER-25/PJ/2018.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1) huruf d
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Government of Australia for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income:
a. pasal 1, mengatur mengenai cakupan resident yang dapat menerima manfaat P3B;
b. pasal 14, mengatur mengenai alokasi hak pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan bebas (independent personal services).
Pelajar dan Peserta Magang
Bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima pelajar atau peserta magang sehubungan dengan kegiatan pendidikan atau pelatihan yang dilaksanakan di luar negeri?
• Dalam OECD Model dan UN Model, ketentuan mengenai hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh pelajar dan peserta magang terdapat dalam Pasal 20.
• Pasal ini memberikan pembebasan pajak kepada pelajar dan peserta magang di negara dimana pelajar dan peserta magang tersebut melakukan kegiatan pembelajaran atau magang.
Contoh:
Tuan Dani yang merupakan SPDN Indonesia dikirimkan oleh PT GHI untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Negara ZE (negara tuan rumah). PT GHI mengirimkan biaya hidup dan biaya pelatihan kepada Tuan Dani. Ketentuan dalam P3B antara Negara Indonesia dengan Negara ZE mengatur bahwa pembayaran untuk keperluan biaya hidup, pendidikan atau pelatihan yang diterima oleh pelajar, mahasiswa, pegawai yang ikut serta dalam pelatihan, dan pegawai magang tidak dikenai pajak di Negara Pihak dalam Persetujuan yang menjadi tempat atau lokasi dilakukannya kegiatan pendidikan atau pelatihan sepanjang pembayaran tertentu tersebut bersumber dari luar Negara dimaksud.
• P3B Indonesia dengan negara-negara mitra
• Model P3B
Premi Asuransi dan Reasuransi
Perusahaan asuransi di Indonesia melakukan reasuransi di Singapura. Perusahaan asuransi Indonesia tersebut, dalam reasuransi ini menggunakan broker Singapura. Seluruh pembayaran dilakukan kepada broker, bukan kepada pihak tempat dia melakukan reasuransi. Pihak manakah (pihak broker atau tempat reasuransi) yang harus mengisi form DGT nya?
• Sesuai dengan ketentuan dalam PER-25/PJ/2018, untuk dapat memperoleh manfaat P3B, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia wajib menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut. WPLN menggunakan format SKD WPLN sebagaimana tercantum dalam Lampiran PER 25/PJ/2018 (Form DGT).
• Pihak yang harus mengisi DGT untuk dapat menerapkan P3B adalah pihak yang menandatangani kontrak dengan perusahaan asuransi di Indonesia.
• Jika pembayaran seluruhnya dilakukan kepada broker, maka broker-lah yang harus mengisi form DGT-nya.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
4.
Implementasi P3B
a. Surat Keterangan Domisili (SKD)
Apa yang dimaksud dengan Surat Keterangan Domisili?
• Surat Keterangan Domisili (SKD) merupakan surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak dimaksud adalah subjek pajak negaranya.
• SKD terbagi menjadi 2 (dua), yakni SKD Wajib Pajak Dalam Negeri (SKD WPDN) dan SKD Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN).
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Apakah SKD dapat diakses secara online?
• Menurut PER-25/PJ/2018 dan PER-28/PJ/2018, SKD dapat diakses secara elektronik melalui https://djponline.pajak.go.id.
• SKD WPDN diakses melalui menu Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), sedangkan SKD WPLN melalui menu e-SKD.
• Wajib Pajak harus telah memiliki akun DJP online terlebih dahulu. Jika belum aktivasi, Wajib Pajak dapat menghubungi Kantor Pelayanan Pajak.
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2018 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negari Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
b. SKD Wajib Pajak Dalam Negeri
Apakah SKD WPLN yang diterbitkan berlaku sejak tanggal 1 bulan tersebut?
• Berdasarkan PER-25/PJ/2018, SKD WPLN disampaikan melalui laman DJP atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat bersamaan dengan pelaporan SPT Masa Pemotongan dan/atau Pemungutan. Masa berlaku SKD sesuai dengan masa berlaku yang tercantum dalam SKD tersebut dengan mempertimbangkan waktu penyampaian SKD pada laman dimaksud.
• Sebagai contoh, Mr. A, WPLN negara mitra P3B Indonesia, mendapat penghasilan dari PT XYZ di Indonesia sepanjang tahun 2019. Mr. A memiliki SKD WPLN yang berlaku dari Januari s.d. Desember 2019 tetapi baru disampaikan melalui laman DJP tanggal 20 Maret 2019 sebelum SPT Masa Februari disampaikan. Atas hal tersebut, PT XYZ dapat melakukan pemotongan pajak sesuai ketentuan P3B mulai masa pajak Februari s.d. Desember 2019. Sementara untuk masa pajak Januari 2019 dapat diajukan pengembalian kelebihan pajak karena SKD WPLN baru diterima setelah masa pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta penyampaian SPT Masa PPh Januari telah terlewati.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Atas lembaga yang disebutkan dalam perjanjian P3B atau yang selanjutnya disepakati oleh pejabat yang berwenang dari masing-masing Negara Mitra, apakah masih perlu melampirkan SKD?
• Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) PER-25/PJ/2018 yang menjelaskan bahwa Pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B, penerapan P3B dapat dilakukan dengan tidak menggunakan Form DGT.
• Tetapi lembaga-lembaga tersebut wajib menyampaikan Certificate of Resident yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ/2018 atau surat keterangan dari otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang menyatakan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan pihak yang dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu berdasarkan P3B.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Siapa yang menerbitkan SKD bagi BUT di Indonesia yang kantor pusatnya berada di negara mitra?
• Sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) huruf d UU PPh, bentuk usaha tetap (BUT) merupakan subjek pajak luar negeri sehingga SKD untuk BUT diterbitkan oleh otoritas pajak negara mitra di mana kantor pusat dari BUT tersebut berada.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (4) huruf d
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Apa syarat WPLN dapat memanfaatkan P3B?
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 PER-25/PJ/2018, syarat WPLN dapat memanfaatkan ketentuan P3B yakni (persyaratan kumulatif):
bukan Subjek Pajak Dalam Negeri,
Orang Pribadi atau Badan yang merupakan SPDN negara mitra P3B,
tidak terjadi penyalahgunaan P3B, dan
merupakan Beneficial Owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana apabila Pejabat yang berwenang Negara Mitra menolak untuk mengesahkan Form-DGT SKD WPLN?
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ/2018, pengesahan Form DGT oleh negara mitra dapat digantikan dengan Certificate of Residence (CoR) yang harus memenuhi ketentuan:
a. menggunakan bahasa Inggris;
b. paling sedikit mencantumkan informasi mengenai:
nama WPLN
tanggal penerbitan;
tahun pajak berlakunya CoR; dan
nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana Wajib Pajak Luar Negeri berbentuk Badan dapat memperoleh manfaat P3B?
Wajib Pajak Luar Negeri berbentuk Badan dapat memperoleh manfaat P3B sepanjang memenuhi syarat formal dan substansial yang diatur dalam PER-25/PJ/2018.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana perlakuan atas WPLN yang terlambat melampirkan SKD dari negaranya namun telah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak?
• Sesuai dengan Pasal 10 PER-25/PJ/2018, dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi persyaratan administratif, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh yang berlaku.
• WPLN yang terlambat menyampaikan SKD setelah pemotongan dan/atau pemungutan pajak dapat mengajukan pengembalian atas kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak tersebut.
• Pengembalian kelebihan tersebut dapat dilakukan jika pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut tersebut sudah dilaporkan dalam SPT Masa Pemotong atau Pemungut Pajak untuk masa terutangnya pajak.
• Tata cara pengembalian kelebihan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai tata cara atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
• Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Bagaimana perlakuan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang baru disampaikan pada saat proses keberatan?
• Petunjuk penelitian SKD WPLN dalam SE-35/PJ/2021 huruf E angka 1 butir d dijelaskan bahwa:
“Dalam hal terdapat SKD WPLN yang diterima oleh pemeriksa dalam proses pemeriksaan atau penelaah keberatan dalam proses keberatan atau pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, dokumen tersebut tetap dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sepanjang memenuhi ketentuan formal sebagaimana dimaksud pada huruf b.”
• SKD WPLN diteliti secara formal dan material sesuai dengan ketentuan yang diatur pada PER-25/PJ/2018
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
• SE-35/PJ/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri Pada Proses Pemeriksaan, Keberatan, Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak
Apakah SKD digunakan sebagai dokumen pelengkap permohonan restitusi PPh pasal 26 sehubungan dengan penerapan ketentuan P3B?
Sesuai dengan Pasal 20 PMK nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang, SKD WPLN merupakan salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam permohonan pengembalian kelebihan pajak.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
Apakah Part VI tetap diisi jika penerima penghasilan adalah WPLN non-individual lainnya (selain bank/pension fund) yang menerima penghasilan selain bunga, dividen, dan royalti?
• Sesuai dengan ketentuan dalam PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, untuk WPLN selain orang pribadi (Non Individual):
harus mengisi PART I pada halaman 1 (satu) Form DGT;
harus mengisi PART V dan PART VI pada halaman 2 (dua) Form DGT;
harus mengisi dan menandatangani pernyataan pada PART VII halaman 2 (dua) Form DGT;
meminta penandasahan dari CA negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B pada PART II halaman 1 dari Form DGT.
Penandasahan PART II dapat digantikan oleh CoR yang diterbitkan oleh CA negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
• Part VI harus diisi oleh WPLN Badan atas seluruh jenis penghasilan yang diterima sesuai dengan ketentuan PER-25/PJ/2018.
• Hal ini disebabkan WPLN secara umum perlu menyampaikan SKD WPLN satu kali dalam satu periode sehingga diperlukan pernyataan dalam Form DGT yang mencakup penghasilan yang telah diterima dan penghasilan yang mungkin diterima di masa yang akan datang.
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
d. Kredit Pajak Luar Negeri
PT. ETHERIUM adalah WPDN yang pada tahun pajak 2019 memperoleh dan menerima penghasilan neto dengan rincian sebagai berikut:
Menerima penghasilan usaha sebesar Rp 1,5 Milyar dan dikenai PPh LN sebesar Rp 450 juta di Negara A
Menerima penghasilan bunga sebesar Rp 4,5 Milyar dan dikenai PPh LN Rp 675 juta di negara B
Menderita kerugian dari penjualan harta sebesar Rp 300 juta di negara C
Penghasilan neto dalam negeri sebesar Rp 3 Milyar
Jika tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara A dan B, berapa besarnya PPh LN yang dapat dikreditkan per jenis penghasilan untuk tiap negara atau yurisdiksi?
Berdasarkan Pasal 6 PMK-192/PMK.03/2018, penentuan besarnya PPh LN yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit antara:
Jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di LN dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif
Jumlah PPh LN; dan
Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan LN terhadap PKP dikalikan dengan PPh yang terutang atas PKP, paling tinggi sebesar PPh yang terutang tersebut
Sehingga,
Penghasilan neto LN
Negara A 1.500.000.000
Negara B 4.500.000.000
Negara C 0
Jumlah 6.000.000.000
• Penghasilan neto DN 3.000.000.000
• Penghasilan neto fiskal 9.000.000.000
• PKP 9.000.000.000
• PPh terutang (tarif pasal 17 UU PPh) 2.250.000.000
• PPh LN yang dapat dikreditkan
Negara A
PPh LN 450.000.000
Jumlah tertentu
1,5 Milyar / 9 Milyar x 2,25 Milyar 375.000.000
Jumlah tertentu < PPh LN, sehingga yang dapat dikreditkan sebesar Rp 375 juta
Negara B
PPh LN 675.000.000
Jumlah tertentu
4,5 Milyar / 9 Milyar x 2,25 Milyar 1.125.000.000
PPh LN < jumlah tertentu, sehingga yang dapat dikreditkan sebesar Rp 675 juta
Negara C
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, kerugian dari negara C tidak dapat digabungkan dalam menghitung PKP
Jumlah PPh LN yang dapat dikreditkan PT. ETHERIUM terhadap PPh yang terutang di DN adalah sebesar Rp 1,05 Milyar (Rp 375 juta + Rp 675 juta)
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
a. Pasal 24 ayat (6)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri
a. Pasal 4, dan
b. Pasal 6
5.
Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures and Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Multilateral Instrument, MLI)
Dengan berlakunya MLI, apakah ketentuan dalam P3B tetap berlaku?
• MLI merupakan instrumen yang memodifikasi P3B sesuai dengan rekomendasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Actions. Pembentukan MLI dilakukan agar memudahkan penyelarasan P3B dengan rekomendasi BEPS Actions tersebut mengingat renegosiasi P3B membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.
• Pembentukan MLI ditujukan untuk menghindari proses negosiasi perjanjian yang panjang dan memakan waktu yang lama yang selama ini terjadi pada perjanjian bilateral.
• P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra tetap berlaku, kecuali untuk klausul P3B yang dimodifikasi dengan MLI untuk klausul yang dimodifikasi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana yang diatur dalam MLI.
MLI Convention
Apakah MLI Explanatory Statement memiliki kedudukan yang sama dengan OECD Commentary yaitu tidak mengikat (non-binding)?
• OECD Commentary merupakan guideline dalam menafsirkan ketentuan P3B dan bersifat non-binding, sementara MLI mengikat para pihak penanda tangan (signatories).
• Berbeda dengan Protokol yang langsung mengubah ketentuan dalam P3B, MLI bekerja berdampingan dengan P3B.
• Dengan demikian, ketentuan dalam P3B tetap harus diperhatikan saat mengaplikasikan MLI. Naskah Sintesis (synthesized text) yang ada dalam lampiran surat edaran Pemberlakuan MLI dapat digunakan untuk memudahkan proses tersebut.
• MLI Convention
• SE Pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan Negara/Yurisdiksi Mitra
Mengapa beberapa negara memilih tidak mengadopsi pasal-pasal tertentu dalam MLI?
• Pada dasarnya, setiap negara/yurisdiksi memiliki kedaulatan untuk membentuk ketentuan domestik perpajakannya termasuk untuk mengadopsi maupun tidak mengadopsi pasal-pasal dalam MLI.
• Namun perlu diingat bahwa implementasi MLI memerlukan persetujuan 2 (dua) negara mitra untuk memilih pasal MLI yang sama.
• Jadi misalnya Indonesia memilih suatu pasal untuk dimodifikasi, tetapi negara mitra tidak memilih pasal tersebut (memilih untuk reservasi), maka tidak akan terjadi kesesuaian antara Indonesia dengan negara mitra tersebut, sehingga tidak akan ada modifikasi MLI atas P3B antar Indonesia dengan negara mitra tersebut.
• MLI Convention
Pasal-pasal MLI apa saja yang diadopsi oleh Indonesia?
Indonesia saat ini mengadopsi 11 pasal, yaitu tentang:
dual resident entities (Pasal 4),
purpose of a covered tax agreement (Pasal 6),
prevention of treaty abuse (Pasal 7),
dividend transfer (Pasal 8),
gains transfer of shares derives principally from immovable properties (Pasal 9),
artificial avoidance of PE status through commissionaire (Pasal 12),
artificial avoidance of PE status through specific activity exemption (Pasal 13),
splitting-up contracts (Pasal 14),
definition of closely related enterprise (Pasal 15),
mutual agreement procedure (Pasal 16), dan
corresponding adjustment (Pasal 17).
• MLI Convention
Kapan MLI akan mulai berlaku efektif di Indonesia?
Tanggal berlaku efektif MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/yurisdiksi mitra dapat diketahui dalam surat edaran Direktur Jenderal Pajak tentang pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/atau yurisdiksi mitra
• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang pemberlakuan MLI untuk P3B Indonesia dengan negara/atau yurisdiksi mitra
• Pasal 35 MLI Convention
Apakah suatu negara dapat mengubah posisinya dalam MLI?
• Setelah ratifikasi, suatu negara pihak dapat mengubah sebagian Posisi MLI mereka.
• Secara khusus, negara tersebut dapat mengidentifikasi lebih banyak perjanjian (P3B) yang akan dimodifikasi oleh MLI, mengadopsi ketentuan opsional, mengganti atau menarik reservasi.
MLI Information Brochure May 2020
6.
Penentuan Harga Transfer
a. Transfer Pricing (TP)
Bagaimana transfer pricing digunakan sebagai sarana penghindaran atau pengelakan pajak?
• Dalam suatu transaksi bisnis internasional, harga yang dikenakan oleh satu perusahaan di Negara A ke perusahaan lain di Negara B tercermin dalam laba/rugi kedua perusahaan, baik dari sisi penghasilan atau biaya. Dengan demikian harga yang dikenakan juga berdampak pada Pajak Penghasilan yang dibayarkan oleh kedua perusahaan tersebut.
• Jika perusahaan di Negara A dan Negara B memiliki hubungan istimewa, dengan mengatur harga transfer, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dapat mengatur jumlah pembayaran pajak di masing-masing negara untuk mengurangi beban pajak secara global.
• Pada umunya dilakukan dengan cara mengalokasikan penghasilan yang lebih tinggi di negara dengan tarif pajak rendah serta biaya yang lebih besar di negara dengan tarif pajak tinggi.
• Sebagai contoh, tarif Pajak Penghasilan yang berlaku bagi perusahaan dalam negeri di Indonesia adalah 22 persen dan tarif Pajak Penghasilan di Negara XYZ adalah 15 persen.
• Perusahaan A berlokasi di Indonesia dan Perusahaan B di Negara XYZ. Perusahaan A dan Perusahaan B merupakan perusahaan yang terafiliasi atau memiliki hubungan istimewa. Perusahaan B akan mentransfer bahan baku untuk Perusahaan A dengan harga lebih tinggi dari harga yang wajar.
• Transaksi ini akan memungkinkan Perusahaan A untuk mencatat biaya yang lebih tinggi dan mengurangi laba yang menjadi dasar penghitungan Pajak Penghasilan di Indonesia.
• laba perusahaan B yang lebih besar tidak akan merugikan Perusahaan tersebut, karena tarif Pajak Penghasilan di negara XYZ lebih rendah dari pada di Indonesia. Dengan demikian, kelompok usaha ini secara global akan mendapatkan keuntungan dari penghematan beban pajak.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 18 Ayat (3)
Apa yang membedakan harga berdasarkan harga pasar (fair market value) dan arm length's pricing (ALP)?
Fair market value:
Harga barang atau jasa di pasar yang aktif dan efisien, terdiri dari tiga tingkatan: quoted market price (level 1), adjusted market price (level 2), dan valuation price (level 3).
Arm’s length price:
Harga yang digunakan oleh para pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa jika bertransaksi secara independen dalam kondisi yang serupa.
PSAK 68 tentang Pengukuran Nilai Wajar
Pasal 9 Model P3B
Bagaimana pasal 9 ayat 1 model P3B mengatur pemajakan atas transaksi dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang merupakan penduduk di negara yang berbeda?
pasal 9 ayat 1 model P3B mengatur bahwa pemajakan atas transaksi dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle).
Model P3B
a. Pasal 9
b. Mutual Agreement Procedure (MAP)
Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak apabila yang bersangkutan merasa dibebani pemajakan berganda atau hal lain yang menyalahi perjanjian P3B?
• Atas tindakan yang diindikasikan melanggar P3B, walaupun sudah ada mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur di Undang-Undang Perpajakan domestik, Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) melalui pejabat yang berwenang di negaranya.
• Pejabat yang berwenang tersebut melakukan pembahasan demi menghasilkan suatu persetujuan bersama pejabat yang berwenang Negara Mitra terkait penyelesaian sengketa tersebut.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama
Model P3B
a. Pasal 25
Dalam rangka pengawasan kepatuhan perpajakan, PT ZTE diperiksa oleh KPP Madya Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat biaya pembelian barang kepada induk perusahaan yaitu ZTE co. di Jepang yang dikoreksi oleh pemeriksa pajak. PT ZTE tidak menyetujui koreksi dalam pemeriksaan tersebut, apakah PT ZTE dapat mengajukan Mutual Agreement Procedure (MAP) kepada DJP terkait koreksi tersebut?
• PT ZTE tidak dapat mengajukan permintaan MAP kepada DJP terkait hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa KPP Madya Jakarta Pusat.
• Apabila PT ZTE tidak menyetujui hasil pemeriksaan, PT ZTE dapat mengajukan keberatan atau permohonan pembatalan atas surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan dimaksud sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
• Sebaliknya ZTE Co. dapat mengajukan permintaan MAP melalui otoritas perpajakan Jepang kepada DJP.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tantang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 25 dan
b. Pasal 36
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama
Model P3B
a. Pasal 25
Bagaimana tindak lanjut pelaksanaan Persetujuan Bersama dan bagaimana dampaknya terhadap SKP serta proses keberatan yang sedang berjalan.
Apabila Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan dan KEP Persetujuan Bersama dapat diterbitkan, maka tindak lanjutnya adalah sebagai berikut:
dalam hal SKP belum terbit dan belum diperiksa, maka WP melakukan pembetulan SPT
dalam hal SKP belum terbit namun dalam proses pemeriksaan, maka WP melakukan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT
dalam hal SKP sudah terbit namun belum diajukan keberatan, maka DJP melakukan pembetulan SKP secara jabatan
dalam hal keberatan atau proses pengurangan/pembatalan sedang berjalan, maka DJP menerbitkan KEP Keberatan atau Pengurangan/Pembatalan Sanksi sesuai Persetujuan Bersama dalam hal SK Keberatan telah terbit, maka DJP membetulkan SK Keberatan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama
b. Advance Pricing Agreement (APA)
Apakah manfaat yang dapat diperoleh bagi Wajib Pajak dengan mengajukan Advance Pricing Agreement (APA)?
• APA dapat memberikan kepastian harga dan/atau metode transfer pricing yang akan diadopsi untuk transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terafiliasi selama periode tertentu. Selanjutnya, bilateral/multilateral APA juga menghilangkan risiko pengenaan pajak berganda yang timbul dari koreksi atas transaksi antar perusahaan terafiliasi.
• Manfaat dari APA antara lain adalah:
kepastian sehubungan dengan dampak ekonomi dari transaksi antar perusahaan terafiliasi selama periode APA;
biaya pelaporan tahunan rendah ;
pengurangan biaya kepatuhan terutama yang terkait dengan audit dan penyelesaian sengketa dalam periode APA; dan
memberikan fleksibilitas dalam mengembangkan pendekatan praktis untuk kasus transfer pricing yang kompleks.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tantang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 3a
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
Model P3B:
a. Pasal 25
Apakah yang dimaksud dengan asumsi kritis (critical assumptions} dalam APA?
• Asumsi kritis merupakan salah satu kriteria dalam menentukan harga transfer yang terkait dengan situasi dan kondisi Wajib Pajak seperti ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis, transaksi, fungsi yang dilakukan, risiko yang diasumsikan, dan aktiva yang digunakan oleh para pihak yang bertransaksi, karakteristik transaksi, dan kondisi ekonomi makro yang mempengaruhi transaksi seperti industri, bisnis, dan lain-lain.
• Asumsi kritis sangat penting dalam mendukung posisi APA, perubahan di salah satu asumsi kritis dapat mengakibatkan revisi APA, atau bahkan terminasi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
Bagaimana cara pengajuan APA?
• Wajib Pajak Dalam Negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar maupun saluran lain, sepanjang memenuhi ketentuan formal, yaitu:
menyampaikan SPT 3 tahun terakhir
diwajibkan dan melaksanakan kewajiban menyelenggarakan TP Doc 3 tahun terakhir
tidak sedang dilakukan penyidikan atau menjalani tindak pidana perpajakan
transaksi afiliasi dan pihak afiliasi dilaporkan dalam SPT
usulan penentuan Harga Transfer tidak menyebabkan laba operasi menjadi lebih kecil
• Apabila Wajib Pajak telah memenuhi seluruh ketentuan formal yang disyaratkan, maka permohonan akan ditindaklanjuti dengna proses penyelesaian permohonan APA.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
Bagaimana proses penyelesaian permohonan APA?
Penyelesaian permohonan APA dilakukan melalui dua tahap, yakni:
pengujian material dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha serta
perundingan APA,
baik yang bersifat Unilateral, yakni antara DJP dengan Wajib Pajak, maupun Bilateral, antara DJP dengan Pejabat Berwenang Negara Mitra P3B (Competent Authority).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
7. Exchange of Information (EoI)
Dalam rangka memperoleh data/informasi terkait pemeriksaan terhadap Wajib Pajak atas transaksi yang terjadi di luar negeri, Pemeriksa pajak di KPP berniat meminta informasi, salah satunya kepada otoritas perpajakan Swiss. Bagaimana prosedur permintaan informasi tersebut?
• P3B antara Pemerintah Indonesia dan Swiss tidak memiliki klausul pertukaran informasi, sehingga P3B tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum internasional untuk bertukar informasi. Namun demikian, pertukaran informasi dengan Swiss tetap dapat dilaksanakan dengan menggunakan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAAC Convention) sebagai dasar hukum internasional.
• Prosedur domestik untuk pertukaran informasi dengan negara Swiss atau negara mitra lainnya, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Account Representative KPP A meminta data dan informasi terkait perpajakan di Negara Hongkong kepada Subdirektorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional pada Direktorat Perpajakan Internasional. Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan EOI request tersebut?
• Permintaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Outbound EOIR) dapat diteruskan dengan syarat telah memenuhi kriteria-kriteria EOIR berdasarkan standar internasional. Kriteria-kriteria EOIR tersebut adalah sebagai berikut:
exhausted, yaitu telah melakukan segala upaya untuk mencari informasi di dalam negeri, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit di lingkungan DJP antara lain dengan telah mencari informasi pada sistem informasi yang dimiliki DJP, melalui internet dan/atau media sosial, telah mengirimkan SP2DK bagi Account Representative, telah melakukan visit, telah membuat Berita Acara Pemberian Keterangan (BAPK) bagi Pemeriksa Pajak, namun informasi yang dibutuhkan masih belum diperoleh;
didasari atas kecurigaan (suspicion) dan dugaan (allegation) yang memadai, yaitu adanya keyakinan yang memadai bahwa wajib pajak telah melakukan penghindaran atau pengelakan pajak, termasuk tax treaty abuse atau belum memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar;
foreseeably relevant, yaitu informasi yang diminta tidak spekulatif (harus relevan dengan kebutuhan terkait kasus dan permasalahan perpajakan yang sedang dihadapi), tidak boleh fishing expedition, dan memiliki nexus (adanya hubungan yang jelas antara informasi yang diminta dengan fakta, kondisi, dan asumsi yang menjadi latar belakang atas allegation atau tuduhan bahwa wajib pajak telah melakukan penghindaran atau pengelakan pajak).
Sebagai contoh, salah satu KPP mengirimkan usulan EOIR yang isinya permintaan informasi terkait daftar harta yang dimiliki oleh seluruh Wajib Pajak yang terdaftar di KPP tersebut kepada otoritas pajak Hongkong. Hal ini tidak boleh dilakukan karena termasuk fishing expedition;
adanya hal-hal yang mendasari keyakinan bahwa informasi yang diminta berada di negara atau yurisdiksi mitra;
tidak mengakibatkan terungkapnya rahasia perdagangan, usaha, industri, perniagaan, atau keahlian; dan
tidak berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan nasional.
• Permintaan Outbound EOIR yang telah memenuhi kriteria tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Account Representative (AR) KPP mendapat data pemicu berupa rekening keuangan Wajib Pajak yang bersumber dari AEOI.
Kemana KPP dapat melakukan klarifikasi dan konfirmasi sehubungan data pemicu tersebut?
Kemudian, sehubungan dengan perbaikan/update data nama lembaga keuangan pada Data Pemicu hasil Inbound AEOI, bagaimana mekanisme bagi AR yang telah menindaklanjuti data pemicu tersebut sebelum tanggal 26 Agustus 2021?
• AR dapat mengajukan permintaan klarifikasi ke Direktorat Data dan Informasi Perpajakan (DIP) sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Lampiran II huruf G SE-30/PJ/2019.
• Dalam hal AR telah menindaklanjuti data pemicu sebelum tanggal 26 Agustus 2021, AR tetap harus melakukan klarifikasi data pemicu ke DIP untuk mengetahui apakah data pemicu yang ditindaklanjuti sebelumnya sudah sesuai dengan informasi yang ditransmisikan Competent Authority (CA) Negara Mitra/Yurisdiksi Mitra.
• Apabila terdapat perbedaan nama lembaga keuangan maka AR perlu melakukan konfirmasi kembali kepada Wajib Pajak sesuai data pemicu hasil klarifikasi.
SE-30/PJ/2019 tentang Kebijakan Tata Kelola Kewenangan Akses Data Perpajakan
Atas data pemicu yang bersumber dari AEOI, KPP telah melakukan klarifikasi kepada Direktur DIP dan telah menerbitkan SP2DK kepada Wajib Pajak. Wajib Pajak menolak mengakui informasi keuangan data pemicu tersebut.
Apa tindak lanjut yang dapat KPP lakukan untuk memperoleh dokumen pendukung yang relevan untuk memperkuat informasi keuangan pada data pemicu tersebut?
• KPP dapat melakukan berbagai upaya pencarian informasi dari dalam negeri untuk memenuhi kriteria exhausted, seperti mencari melalui basis data (database) DJP, basis data eksternal (mis: ORBIS, ORIANA), SP2DK kepada WP, situs daring pemerintah/swasta, dan penelusuran lainnya di internet.
• Apabila setelah berbagai upaya pencarian informasi dari dalam negeri tersebut, dokumen pendukung belum dapat diperoleh, KPP dapat mengajukan usulan pertukaran informasi dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada Direktur Perpajakan Internasional dengan mengacu pada ketentuan pertukaran informasi berdasarkan permintaan yang berlaku.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
• Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Bagaimana format naskah dinas untuk mengajukan usulan pertukaran informasi berdasarkan permintaan (Exchange of Information on Request/EOIR)?
Format usulan EOIR kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat dilihat pada Lampiran A SE-09/PJ/2018.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh CA Negara Mitra ata Yurisdiksi Mitra untuk menjawab permintaan EOIR?
Standar waktu bagi CA Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk menjawab permintaan EOIR adalah 90 hari kalender.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Wajib Pajak mendapatkan notifikasi “tidak diijinkan” atau error lainnya saat melakukan unggah file EOI domestik.
Apa langkah yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti aduan tersebut?
Wajib Pajak dapat melakukan korespondensi via email ke eoidomestik@pajak.go.id dan eoi@pajak.go.id untuk mendapatkan bantuan pembuatan file yang benar.
KPP mendapatkan data pemicu Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk WP OP High Wealth Individual (HWI).
Data pemicu tersebut menunjukkan adanya penghasilan bunga, dividen, dan penjualan.
Apakah nilai penjualan dalam data pemicu tersebut merupakan rekap penjualan aset keuangan selama 1 tahun? Apakah dalam data AEOI juga memuat data pembelian aset keuangan?
Berdasarkan PMK-70/PMK.03/2017 s.t.d.t.d PMK-19/PMK.03/2018 Lampiran I huruf C angka 1 poin e, penghasilan yang terkait dengan rekening kustodian berupa:
jumlah bruto bunga, dividen, dan penghasilan lain yang dihasilkan dari aset yang berada dalam Rekening Keuangan, yang dibayarkan atau yang dikreditkan ke Rekening Keuangan tersebut (atau yang terkait dengan Rekening Keuangan dimaksud) selama tahun kalender; dan
jumlah penjualan bruto (gross proceeds) yang diperoleh dari penjualan atau penjualan kembali (redemption) aset keuangan yang dibayarkan atau dikreditkan ke Rekening Keuangan selama tahun kalender, dalam hal lembaga keuangan pelapornya bertindak sebagai kustodian, pialang (broker), nominee, atau agen dari pemegang Rekening Keuangan.
Sesuai dengan standar AEOI, tidak ada data pembelian.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018
PT X (WP KPP ABC) mempunyai kepemilikan saham sebesar 99% atas PT Y (WP KPP ABC). PT Y mempunyai kepemilikan saham 100% atas Z Pte. Ltd. (terdaftar di Singapura).
Pada tahun 2017, sesuai data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), PT X menjual barang ke Z Pte. Ltd. sebanyak 10 unit.
Berdasarkan data Laporan Keuangan Konsolidasi PT Y dan Z Pte. Ltd. diketahui bahwa PT Y dan Z Pte. Ltd. melakukan pembelian ke PT X sebanyak 50 unit, dengan rincian =
• pembelian oleh PT Y ke PT X 30 unit
• pembelian oleh Z Pte. Ltd. ke PT X 20 unit.
Berarti ada selisih antara PEB yg dilaporkan PT X sehubungan penjualan ke Z Pte. Ltd. sebanyak 10 unit.
Selain itu, menurut Laporan Keuangan Konsolidasi PT Y dan Z Pte. Ltd. disebutkan bahwa bidang usaha Z Pte. Ltd. adalah distributor tunggal dari PT Y utk penjualan ke Luar Negeri.
Bisakah KPP ABC meminta data kepada Competent Authority (CA) Singapura terkait pembelian yang di laporkan Z Pte. Ltd? Alasan yang mendasari adalah:
1. Terdapat selisih antara pembelian yang diakui dalam Laporan Keuangan Konsolidasi PT Y dan Z Pte. Ltd. dgn PEB oleh PT. X.
2. Z Pte. Ltd. adalah indirect subsidiary dari PT X, dan Z Pte. Ltd. mengakui bahwa seluruh pembelian hanya dari PT X.
Sebelum Account Representative (AR) KPP ABC tempat PT X terdaftar melakukan permintaan data terhadap Competent Authority (CA) Singapura terkait kasus tersebut, AR harus memaksimalkan upaya pencarian informasi dari dalam negeri dalam rangka memenuhi kriteria exhausted.
Salah satunya adalah dengan cara melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada PT X dan PT Y atas transaksi tersebut. Informasi yang ada dalam Laporan Keuangan Konsolidasi cukup kuat untuk dijadikan dasar klarifikasi tersebut.
Jika PT X atau PT Y tidak memberikan informasi yang cukup, baru AR tersebut dapat mengajukan pertukaran informasi dengan CA Singapura melalui Direktorat Perpajakan Internasional.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan Dalam Rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional